"Apa kabarmu?"
"Sedang apa?"
"How's your life?"
Melepaskanmu........ ternyata seberat ini.
Aku hanya bisa menahan segala pertanyaan-pertanyaan yang kemudian mengitari seluruh otakku, tentang kamu. Aku tak bisa melakukan apa-apa kalau jantung ini bergemuruh saat aku singgah di tempat pertemuan pertama kita. Ya, pertama kali kita santai minum susu di sebuah food court daerah karawaci. Lalu kenangan tentang asyiknya menghabiskan waktu disana bersamamu mulai bermunculan, tentang kamu yang manis. Kamu yang terlihat tampan dengan kemeja hitam yang menurutku terlalu resmi untuk jalan-jalan di siang hari, kamu yang terlihat lucu saat memesan menu, kamu yang terlihat antusias mendengar ceritaku, kamu yang mengenggam tanganku saat menyebrang. Kau tau?Lututku terasa lemas saat perlahan jemarimu meraih pergelangan di tanganku. Dan terlalu banyak 'kamu yang' lain dikepalaku.
Kalau sudah begitu aku bisa apa selain memikirkanmu, Janji itu seketika runtuh, terpaksa aku harus membangunnya dari semula.
Belum lagi saat-saat dimana aku mulai merindukanmu. Kamu yang jarang update di media sosial sedang aku yang selalu ingin tau segala aktivitasmu sehari-hari. Aku terpaksa membuka dan membaca recent chat kita di WhatsApp dulu. Dan kalau sudah begitu, biasanya aku nekat untuk menghubungimu. Menunggui balasan chat darimu selalu berhasil membuat jantungku berdetak tak beraturan.
Mungkin, jarak sedang mengajariku dengan cara membuatku sadar bahwa kamu berada cukup jauh disana, sedangkan membuatku sadar bahwa aku merindu sendirian disini.
Aku sadar sekarang, melepaskanmu harus memiliki keteguhan hati seperti baja. Yang dipaksa untuk mati-matian tidak menanyakan kabar ketika rindu itu kemudian mulai mendobrak pertahanan di hatiku.
Bahkan ketika semua hal buruk tentangmu mulai aku ketahui sedikit demi sedikit, sama sekali tak terlintas dipikiranku untuk meninggalkanmu sendirian. Tapi aku bisa apa selain diam. Bisu. Kelu. Kaku.
Dan saat ini, aku berada di tempat yang sama. Kursi yang sama dengan posisi yang sama. Dimana kita masih merasakan debar yang mungkin dinamakan "cinta". Sangat berbeda, ketika untuk kedua kalinya aku datang kesini. Dihadapanku kosong, bahkan susu yang ku pesan terasa hambar. Fragmen-fragmen kenangan tentangmu datang seperti ratusan pedang yang secara bersamaan menusuki jantungku, seperti hujan yang turun tanpa mendung, namun cukup deras.
Memang...
Ketika rasa itu masih ada dan dipaksa untuk tidak ada, bagaikan hujaman pisau, dan itu sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar