Selasa, 16 September 2014

LOVE STORY (#2 Siapa Dia?)

Siapa dia?
................................................................................................................................................................
            Edgar masih terheran-heran dengan wanita yang baru saja ditemuinya. Siapa dia? Baru kali ini ia melihatnya dikampus. Mungkin dari kampus lain yang berkunjung. Namun, langkahnya terhenti ketika ia merasa menginjak sesuatu. Ah,  cat acrylic berwarna merah. Edgar megambil cat acrylic merah yang isinya sudah hampir habis itu dan memperhatikannya. Luna. Luna? Jadi nama gadis itu Luna? Mungkin Luna mahasiswi desain? Edgar mengira-ngira, dan perkiraannya mendekati sempurna karena draft tube yang kebanyakan dibawa oleh mahasiswa/i fakultas desain ditenteng gadis itu, lebih mungkin hipotesisnya benar. Kemudian ia tersenyum sambil memperhatikan cat air merah ditangannya. Kesempatan bagus untuk bertemu gadis itu kedua kalinya, Edgar membatin.

                                                            000

            Tiba di kelas, Luna masih saja memegangi bahu kanannya yang masih terasa nyeri. Mungkin diurut Mama adalah hal yang paling Luna inginkan sekarang. Dasar lelaki sialan, ucapnya dalam hati sambil mengeluarkan sketch book yang selalu wajib dibawa. Buku berukuran A3 ini sudah hampir penuh lagi karena terlalu banyak gambar-gambar yang kebanyakan bukan gambar tugas, tapi gambar-gambar hasil keinsengannya kalau sedang bosan. Luna membolak-balik kertas sketch booknya sambil mencari-cari kertas yang kosong, satu persatu gambar ia perhatikan, ada sketsa nirmana 3D yang sukses membuatnya mendapat IP cukup tinggi dan ternyata demi membuat sketsa nirmana itu ia meghabiskan cukup banyak halaman kertas, borosnya. Kemudian ia tersenyum mendapatkan apa yang tergambar di buku sketsa di halaman selanjutnya, gambar dosen yang dibuat karikatur olehnya dua minggu lalu. Mungkin ukuran kepalanya yang terlalu besar, atau perut buncitnya yang terlalu menggembung? Entahlah, gambar itu cukup menggelitik. Setidaknya rasa nyeri di bahunya agak terlupakan sampai nanti Mama memijit bahu kanannya dirumah.

                                                            000

            “Pelan-pelan,Maaa.”
            “Iya ini pelan kok, kamu kalo dipijit diem kenapa.” Mama mulai ngedumel karena aku yang tidak mau diam kalau sedang dipijit. “Kamu kenapa pakai acara kena bola basket segala sih?”
Kalau ingat kejadian tadi siang, Luna agak kesal. Tapi ekspresi lelaki itu saat mengucapkan kata maaf berulang-ulang memang lucu. “Harusnya mama tanya sama lelaki yang melempar bola basket kearahku itu.”
            “Oh jadi laki-laki nih? Gimana? Ganteng gak? Ganteng gak? Kamu naksir?” Mama tiba-tiba berubah jadi super kepo.
            “Biasa aja.” Jawabku ogah-ogahan.
Mama mendengus kesal. “Yakin biasa aja? Cowok-cowok yang main basket itu biasanya keren-keren Lun, kamu pernah nonton sinetron di tv kan? Iya kayak gitu.”
            “Terus kalau keren kenapa?”
            “Ah... kamu suka gitu deh. Jadi cowoknya keren nih? Eh eh kenalin ke Mama dong.”
            “Aduh, Mamaaa. Udah deh, pijitin aku dulu.”
            “Huu gitu banget deh.” Mama kelihatan agak kesal. “Nih dipijitin nih!” pijitan Mama berubah menjadi lebih keras dari sebelumnya. “Gimana? Enak?!”
            “A-aduh, Ma-Mamaaa!”
            “Makanya kalau diajak bicara tuh jangan jutek-jutek kenapa. Gimana cowok mau deketin kamu.”
            “Kenapa sih Ma, mesti ngomongin cowok terus? Luna bosen.”
            “Soalnya kamu belum pernah punya pacar,Luna. Mama takut kamu suka sesama jenis.”
Aku mengernyitkan dahi sambil menatap Mama heran. “Yaampun Mama mikirnya jauh banget,gak mungkin Ma. Aku belum bisa buka hati buat para cowok-cowok aja, mereka cuma bisa nyakitin doang.”
            “Nyakitin? Emang kamu udah pernah rasain gimana rasanya disakiti cowok?” Mama memajukan kepalanya, seolah ingin mengetahui lebih dalam dari perkataanku barusan.
            “Udah.”
            “Sama siapa, Lun? Kok kamu gak cerita?” Kini mama mengerutkan dahinya, semakin serius.
            “Papa.”
Suasana menjadi hening. Tangan mama terasa melemas di bahuku. Ia membenarkan posisi duduknya.
            “Ma.. aku..”
            “Luna, kamu langsung istirahat aja ya biar nyerinya hilang. Mama tidur duluan.”
Aku tau mama hanya menghindar perihal topik yang tidak mengenakan ini. Aku merasa sedikit bersalah atas ucapanku yang menyinggung masalah papa. Sudah lima tahun terakhir papa tidak pulang kerumah. Aku yang mengusirnya. Kalau saja tangan Papa tidak terlalu ringan, mau bertanggung jawab dan mulutnya bisa sedikit dijaga, mungkin aku bisa lebih bahagia. Aku mengusirnya, dan sampai saat ini ia tidak pernah kembali, seperti mati ditelan bumi. Tapi lebih baik tidak dalam keluarga utuh, dibanding dalam satu keluarga namun tidak ada kasih sayang sedikitpun. Selama masih ada Papa dirumah, tidak ada satu hari pun kulalui dengan damai layaknya keluarga lain. Suasana rumah selalu gempar dan ribut, tangan Papa yang terlampau ringan untuk memberi pukulan demi pukulan di tubuh Mama membuatku gerah. Lebih baik ia tidak ada dirumah. Buktinya Mama lebih terlihat bahagia sekarang. Entah itu hanya kepura-puraan atau apapun, setidaknya Mama bisa tersenyum. Aku menghela nafas panjang. Seharusnya aku tidak mengungkit-ungkit apapun mengenai Papa didepan Mama.
Aku melangkahkan kaki, menuju pintu berwarna putih dan membukanya perlahan. Benar saja, Mama menangis. Pemandangan ini yang paling aku benci dalam hidupku. Melihat Mama menangis membuat hatiku terasa seperti dihujam pisau beribu-ribu kali
            “Ma, maaf. Maksud Luna bukan mau bikin Mama sedih..” aku meraih tubuh mama yang terduduk di pinggir kasurnya.
            “Mama sedih bukan karena Papamu, Lun. Tapi karena kamu merasa tersakiti karena kelakuan Papamu. Maafkan Mama, Lun.”
            “Mama enggak salah..”
            “Kalau saja Mama tidak salah memilih pria, pasti kita tidak akan begini. Kamu akan merasakan bagaimana bahagianya hidup dengan keluarga lengkap.” Bahu mama mulai bergetar, dan aku merasakannya.
            “Itu semua sudah berlalu, Ma. Sudah masa lalu. Jadi Mama nggak usah menyalahkan diri sendiri.” Aku mengusap-usap punggung Mama.
            “Lun..” Mama memegang dan menatap lekat mataku, hingga mata kita beradu. “Jangan karena sikap Papa yang mungkin membuatmu terluka, Luna jadi benci pada semua lelaki. Tidak semua lelaki seperti Papamu, Nak.”
            “Tapi Luna nggak butuh lelaki manapun. Luna bahagia sama Mama. Luna mau hidup sama Mama terus.”
Mama menggeleng, kemudian tetes air matanya mulai berjatuhan, “Enggak,Lun. Enggak. Mama enggak mungkin bisa sama Luna terus. Suatu saat, kamu harus bahagia, kamu harus kejar kebahagiaanmu sendiri. Pilihlah pria yang benar-benar mencintaimu. Karena suatu saat kamu pasti membutuhkan sosok pria sebagai pendampingmu sampai mati. Sampai suatu saat Mama tidak dapat mendampingimu lagi, Luna...”
            “Ma.. tapi aku..”
Mama menaruh jari telunjuknya tepat di bibirku. “ Ssst...” Ucapnya. Lalu Mama tersenyum.
            “Aku tidur sama Mama malam ini ya.” Lanjutku sambil memeluk wanita perkasa dihadapanku dengan erat. Sangat erat.


1 komentar:

  1. Hahahahaha. iay tunggu ya satu hari satu episode. gue mau ngalahin sinetron tersanjung!

    BalasHapus