Edgar
duduk santai sambil menyilangkan satu kakinya ke lutut. Ia mencari-cari
seseorang. Kurang lebih sudah satu jam ia menunggu disana. Bolak-balik melihat
handphone, menyetel musik, menyapa teman yang lewat, dan sekarang ia sudah
berada di titik bosan. Apa gadis itu
tidak ada kelas hari ini? Ia
bertanya dalam hati. Kemudian ia meraih kantong celana dan mendapatkan cat
acrylic merah yang sudah mau habis dan kering itu. Melihat tulisan ‘Luna’ yang ditempel dengan label putih
di badan cat tersebut, entah kekuatan apa yang memaksanya untuk terus menunggui
gadis itu. Edgar adalah orang yang benci menunggu. Namun, kali ini seperti
terdapat magnet di bawah kursi, seolah menahan untuk beranjak. Gadis itu
seperti punya pesona tersendiri. Caranya membalas lemparan bola basket yang
menubruk bahunya dengan balas menubrukkan ke tubuh Edgar, tenaga nya yang cukup
kuat untuk ukuran seorang gadis, sorot matanya yang tajam. Ah.. baru kali ini
ia menemui gadis yang seperti itu. Dan... Tunggu. Ia merasa ada sebuah
tangan lewat-lewat tepat didepan wajahnya.
“Hey?
Hey?”
Edgar terbelalak melihat seseorang dihadapannya, ia sampai
ternganga. Ternyata daritadi ia melamun.
“Aneh!”
cetus seseorang yang berdiri didepannya dan berlalu begitu saja.
“Eh!
Tunggu!” Edgar mulai mendapatkan kembali kesadarannya. “Lu-Luna!!” Berhasil,
gadis itu menghentikan langkahnya dan menoleh kearah Edgar.
“Jadi
benar namamu Luna?” tanya Edgar sambil menghampiri Luna dengan wajah ceria.
“Tau
dari mana?” Luna mengernyitkan dahi, seperti curiga.
“Dari
sini.” Ucap Edgar menunjuk ke arah dadanya sambil senyum-senyum.
“Aneh!”
Luna membuang muka. Laki-laki macam apa yang berdiri di hadapan nya ini.
Sungguh aneh.
“Hahahaha
bercanda kali, serius banget.” Tawa Edgar terdengar renyah. “Dari ini nih,
waktu kemarin aku gak segaja melempar bola basket dan kena kamu.” Edgar
menimang-nimang cat acrylic merah yang sedari tadi dipegangnya.
“Jadi
kamu orang yang bikin tugas ku enggak selesai dan harus dapat nilai C?!”
“Hah?
Yang benar? Aku nggak tau. Maaf maaf” wajah Edgar berubah seperti terjerat rasa
bersalah yang amat sangat.
“Bercanda
kali, serius amat!” kemudian Luna tertawa. “Hahaha rasain, emang enak dibalas.
Hahahaha”
Cantik sekali....batin Edgar sambil memandangi Luna.
“Apa liat-liat?! Sini cat-ku!”
Tawa Luna hilang dengan cepat dan langsung berubah menjadi Luna yang dingin.
“Oh i-iya, nih.”
“Thanks.” Jawab Luna singkat lalu
berjalan meninggalkan Edgar yang masih diam di tempatnya.
Edgar masih diam di tempatnya, memandangi gadis yang tidak
biasa itu berlalu, hingga punggungnya makin menjauh dan hilang. Luna, gadis
dingin yang misterius. Membuatnya penasaran. Semakin penasaran.
000
Luna berjalan sambil menenteng sketch book dan membawa draft
bag. Hari ini hanya satu mata kuliah, jadi ia bisa pulang cepat. Tak sabar
menunggu hari libur tiba, jadi dirinya bisa sepuasnya menghabiskan waktu di
istana dan bercinta dengan lukisan-lukisannya.
“Hai,
Nona Jutek!”
Suara renyah itu muncul dari belakang Luna dan berhasil
membuat Luna terlonjak kaget. “Lho?! Kamu lagi?! Ngapain disini?!”
“Lho?”
Edgar terlihat bingung. “Bukannya kamu yang suruh aku buat datang kesini lagi
jam empat sore?”
“Aku?
Nyuruh kamu?” Luna makin bingung. Ia benar-benar tidak mengerti.
Edgar mengangguk semangat. “Kamu SMS aku kamarin malam, ini buktinya.” Edgar mengeluarkan handphone dan mendekatkan benda itu ke mata Luna.
Luna membaca tiap SMS dengan seksama, pasti ini ulah Mama!
Bahkan ia tidak tahu kalau ternyata cat
acrylic merah miliknya kemarin sengaja ditulis nomor handphone pria dihadapannya.
“Nah,
sekarang percaya kan?” Edgar merasa menang.
“Ta..
tapi.. “ Luna berusaha menyanggah bahwa
bukan dirinya yang meng-SMS nomornya, tapi karena ulah jahil si Mama.
“Karna
kamu sudah menyuruhku untuk datang kesini, jadi ayo kita makan cake!”
Dengan cepat Edgar menggandeng tangan Luna sambil setengah berlari.
“Lepaskan!!”
Luna menghempaskan tangan Edgar. “Gak harus pegang-pegangan kan? Dasar cowok
genit!”
Edgar kembali ternganga dengan sikap Luna barusan. Ia makin
penasaran dengan gadis itu. Benar-benar penasaran. Dalam perjalanan menuju
parkiran, Edgar dan Luna tidak banyak bercakap-cakap. Edgar seperti wartawan
yang tengah mewawancarai seseorang. Namun balasan dari segala pertanyaannya
hanya dijawab “Hmm” atau “Iya.”
“Kita ke
Cheese Cake Factory aja ya.” Tanya Edgar sambil menyalakan mesin mobilnya.
“Hmmm.”
Hmmm. Jawaban yang
sudah Edgar duga.
000
Suasana
Cheese Cake Factory sore itu tidak terlalu ramai. Edgar dan Luna duduk di
ruangan indoor karena Edgar berpikir mungkin gadis seperti Luna lebih nyaman di
tempat yang tenang. Luna memandangi setiap sudut ruangan dan memperhatikan
waiter-waiter yang lalu lalang. Dan mataya menangkap objek bagus, yaitu anak
kecil berambut hitam panjang yang duduk di pojok ruangan sambil melahap cake
dihadapannya. Ingin sekali Luna melukis gadis kecil itu, tapi ia sadar bahwa
ada pria aneh bersamanya, Luna lupa kalau dirinya tidak seorang diri di sini. Ia ingin cepat pulang.
“Kok
diam aja?Gak suka tempatnya?” Edgar membuka percakapan.
Luna menggeleng, matanya mengelilingi ruangan di bangunan
yang mengambil konsep resto and bakery itu.
“Terus
kenapa diam saja?” Tanya Edgar lagi.
Namun tidak ada jawaban apapun dari Luna. Baru kali ini
Edgar merasa canggung dengan seorang gadis. Otaknya terus mencari-cari obrolan
apa yang kira-kira dapat membuka sedikit hal tentang gadis didepannya yang
terlalu sulit untuk dibuka. Edgar tidak mau membuat pick up line yang membuatnya terlihat bodoh. Matanya tertuju pada
sketch book di meja yang dibawa Luna sedari tadi.
“Oh iya,
kamu fakultas desain ya?” Mungkin dengan topik ini Luna bisa sedikit atau setidaknya
bicara. Pikir Edgar.
“Kamu
tahu dari mana?”
“Kan aku
yang tanya kamu, masa kamu tanya balik.”
“Hmm..
Iya, aku fakultas desain. Desain Komunikasi Visual lebih tepatnya.” Jawab Luna
sambil menyuap choco delight ke
mulutnya.
Berhasil! Ternyata topik yang dipilih Edgar setidaknya
mendapat respon dari Luna. Kau memang
pintar menaklukkan hati wanita, Ed. Pujinya dalam hati. “Wah keren, pasti
bisa gambar atau apapun yang bersangkutan dengan seni?”
“Sok
tahu.” Jawab Luna ketus.
“Aku sok
tahu? Oke, mari kita buktikan dengan melihat karyamu di sketch book itu.” Mata
Edgar melirik sketch book didepan Luna seolah berkata ayo buka bukunya.
“Jangan,
gambarku jelek-jelek. Tidak seperti gambar orang lain.” Luna sedikit menarik
sketch book dihadapannya agar tidak diraih Edgar.
“Enggak
apa-apa, semua karya yang dibuat dengan hati pasti nampak istimewa.” Ucap Edgar
sambil tersenyum. “Sini...”
Pertama kalinya Luna menyadari bahwa lelaki didepannya
memiliki senyum yang manis dan mampu menghipnotisnya untuk beberapa detik.
Dengan ragu-ragu ia memberikan sketch book miliknya hingga sekarang buku tebal
itu berpindah tangan
“Wah!
Bagus banget!!”
Luna melotot melihat Edgar yang langsung memuji padahal
belum sama sekali membuka sketch book miliknya. Edgar hanya cengengesan.
Entahlah, Luna selalu merasa kurang percaya diri bila karya nya dilihat orang
lain. Ia takut untuk mendengar reaksi Edgar setelah melihat gambar-gambar di
sketch booknya.
“Lun,
ini kamu yang buat?”
Pertanyaan Edgar barusan sebenarnya agak menyontak Luna
hingga ia refleks menatap kearah Edgar. “Iya, kenapa? Kurang bagus ya?”
“Serius?
Aku pikir ini buatan pelukis profesional. Tiap garis yang kamu buat sangat
rapih. Selain itu di gambar ini, kamu nggak takut buat menggambar langsung
dengan pulpen, harunya pakai pensil dulu biar bisa dihapus. Luar biasa.” Edgar
memandangi buku sketsa Luna dengan serius. .Saat itu gambar yang dilihat Edgar
adalah gambar pohon tua yang terletak di halaman kampusnya. Menurutnya, meski
simple namun gambar ini terlihat hidup sampai-sampai ia bisa merasakan sejuknya
suasana didalam gambar tersebut
Jujur saja, pujian Edgar barusan membuat Luna senang bukan
main. Selama ini, ia hanya memendam sendiri gambar dan lukisan nya. Hanya sang
Mama yang setia memuji tiap karya yang dibuat Luna. Tapi kali ini, ada
seseorang yang memuji karyanya. Dan orang itu adalah Edgar.
“Makasih
ya, tapi jangan berlebihan begitu.”
“Aku
nggak melebih-lebihkan,Lun. Aku memang nggak mahir dalam hal seperti ini, tapi
otakku masih cukup cerdas untuk membedakan mana karya yang layak dipuji dan
mana yang tidak layak dipuji. Dan mahakarya didepanku ini adalah salah satu
contoh karya yang layak dapat apresiasi” Edgar tersenyum lebar.
Luna tersenyum. Kali ini ia
benar-benar senang mendapat pujian dari seseorang. Luna melihat wajah ketulusan dan bukan
paksaan untuk memuji dari wajah lelaki didepannya. Ekspresi Edgar selalu
berbeda ketika halaman demi halaman dibuka. Bila yang dilihatnya gambar-gambar
hewan atau pemandangan, ia tersenyum. Bila yang dibuka berupa nirmana 3D,
wajahnya nampak kebingungan dan sering kali memutar buku sketsa tersebut untuk
mengetahui dari sisi mana seharusnya ia memperhatikan. Dan saat membuka gambar
dosen yang kubuat karikatur ia tertawa dan berkata “Kamu jahil juga ternyata”.
Tanpa sadar Luna memperhatikan ekspresi tiap ekspresi yang ditimbulkan Edgar,
seolah menunggu kira-kira seperti apa ekspresi selanjutnya. Kamudian terlintas
di benak Luna untuk menunjukkan pada Edgar hasil lukisan di istana nya. Luna
dapat mengekspektasikan bahwa ekspresi Edgar akan jauh lebih berbeda.
Namun,
ia belum siap untuk membuka dirinya pada siapapun. Dan jangan gampang terpukau
hanya dengan pujian-pujian yang dilontarkan Edgar. Ia harus hati-hati dengan
lelaki. Karna yang ia tahu, lelaki hanya bisa menyakiti. Hanya itu. Tidak
lebih.
000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar