Rabu, 17 September 2014

LOVE STORY (#3 Penasaran)


               Edgar duduk santai sambil menyilangkan satu kakinya ke lutut. Ia mencari-cari seseorang. Kurang lebih sudah satu jam ia menunggu disana. Bolak-balik melihat handphone, menyetel musik, menyapa teman yang lewat, dan sekarang ia sudah berada di titik bosan. Apa gadis itu tidak ada kelas hari ini?  Ia bertanya dalam hati. Kemudian ia meraih kantong celana dan mendapatkan cat acrylic merah yang sudah mau habis dan kering itu. Melihat tulisan ‘Luna’ yang ditempel dengan label putih di badan cat tersebut, entah kekuatan apa yang memaksanya untuk terus menunggui gadis itu. Edgar adalah orang yang benci menunggu. Namun, kali ini seperti terdapat magnet di bawah kursi, seolah menahan untuk beranjak. Gadis itu seperti punya pesona tersendiri. Caranya membalas lemparan bola basket yang menubruk bahunya dengan balas menubrukkan ke tubuh Edgar, tenaga nya yang cukup kuat untuk ukuran seorang gadis, sorot matanya yang tajam. Ah.. baru kali ini ia menemui gadis yang seperti itu. Dan... Tunggu. Ia merasa ada sebuah tangan lewat-lewat tepat didepan wajahnya.
               “Hey? Hey?”
Edgar terbelalak melihat seseorang dihadapannya, ia sampai ternganga. Ternyata daritadi ia melamun.
               “Aneh!” cetus seseorang yang berdiri didepannya dan berlalu begitu saja.
               “Eh! Tunggu!” Edgar mulai mendapatkan kembali kesadarannya. “Lu-Luna!!” Berhasil, gadis itu menghentikan langkahnya dan menoleh kearah Edgar.
               “Jadi benar namamu Luna?” tanya Edgar sambil menghampiri Luna dengan wajah ceria.
               “Tau dari mana?” Luna mengernyitkan dahi, seperti curiga.
               “Dari sini.” Ucap Edgar menunjuk ke arah dadanya sambil senyum-senyum.
               “Aneh!” Luna membuang muka. Laki-laki macam apa yang berdiri di hadapan nya ini. Sungguh aneh.
               “Hahahaha bercanda kali, serius banget.” Tawa Edgar terdengar renyah. “Dari ini nih, waktu kemarin aku gak segaja melempar bola basket dan kena kamu.” Edgar menimang-nimang cat acrylic merah yang sedari tadi dipegangnya.
               “Jadi kamu orang yang bikin tugas ku enggak selesai dan harus dapat nilai C?!”
               “Hah? Yang benar? Aku nggak tau. Maaf maaf” wajah Edgar berubah seperti terjerat rasa bersalah yang amat sangat.
               “Bercanda kali, serius amat!” kemudian Luna tertawa. “Hahaha rasain, emang enak dibalas. Hahahaha”
Cantik sekali....batin Edgar sambil memandangi Luna.
“Apa liat-liat?! Sini cat-ku!” Tawa Luna hilang dengan cepat dan langsung berubah menjadi Luna yang dingin.
“Oh i-iya, nih.”
“Thanks.” Jawab Luna singkat lalu berjalan meninggalkan Edgar yang masih diam di tempatnya.
Edgar masih diam di tempatnya, memandangi gadis yang tidak biasa itu berlalu, hingga punggungnya makin menjauh dan hilang. Luna, gadis dingin yang misterius. Membuatnya penasaran. Semakin penasaran. 

                                                                                          000

Luna berjalan sambil menenteng sketch book dan membawa draft bag. Hari ini hanya satu mata kuliah, jadi ia bisa pulang cepat. Tak sabar menunggu hari libur tiba, jadi dirinya bisa sepuasnya menghabiskan waktu di istana dan bercinta dengan lukisan-lukisannya.
               “Hai, Nona Jutek!”
Suara renyah itu muncul dari belakang Luna dan berhasil membuat Luna terlonjak kaget. “Lho?! Kamu lagi?! Ngapain disini?!”
               “Lho?” Edgar terlihat bingung. “Bukannya kamu yang suruh aku buat datang kesini lagi jam empat sore?”
               “Aku? Nyuruh kamu?” Luna makin bingung. Ia benar-benar tidak mengerti.
Edgar mengangguk semangat. “Kamu SMS aku kamarin malam, ini buktinya.” Edgar mengeluarkan handphone dan mendekatkan benda itu ke mata Luna.
Luna membaca tiap SMS dengan seksama, pasti ini ulah Mama! Bahkan ia tidak tahu kalau ternyata cat  acrylic merah miliknya kemarin sengaja ditulis nomor handphone pria dihadapannya.
               “Nah, sekarang percaya kan?” Edgar merasa menang.
               “Ta.. tapi.. “ Luna berusaha menyanggah bahwa  bukan dirinya yang meng-SMS nomornya, tapi karena ulah jahil si Mama.
               “Karna kamu sudah menyuruhku untuk datang kesini, jadi ayo kita makan cake!” Dengan cepat Edgar menggandeng tangan Luna sambil setengah berlari.
               “Lepaskan!!” Luna menghempaskan tangan Edgar. “Gak harus pegang-pegangan kan? Dasar cowok genit!”
Edgar kembali ternganga dengan sikap Luna barusan. Ia makin penasaran dengan gadis itu. Benar-benar penasaran. Dalam perjalanan menuju parkiran, Edgar dan Luna tidak banyak bercakap-cakap. Edgar seperti wartawan yang tengah mewawancarai seseorang. Namun balasan dari segala pertanyaannya hanya dijawab “Hmm” atau “Iya.”
               “Kita ke Cheese Cake Factory aja ya.” Tanya Edgar sambil menyalakan mesin mobilnya.
               “Hmmm.”
Hmmm. Jawaban yang sudah Edgar duga.

                                                                           000

               Suasana Cheese Cake Factory sore itu tidak terlalu ramai. Edgar dan Luna duduk di ruangan indoor karena Edgar berpikir mungkin gadis seperti Luna lebih nyaman di tempat yang tenang. Luna memandangi setiap sudut ruangan dan memperhatikan waiter-waiter yang lalu lalang. Dan mataya menangkap objek bagus, yaitu anak kecil berambut hitam panjang yang duduk di pojok ruangan sambil melahap cake dihadapannya. Ingin sekali Luna melukis gadis kecil itu, tapi ia sadar bahwa ada pria aneh bersamanya, Luna lupa kalau dirinya tidak seorang diri di sini. Ia ingin cepat pulang.
               “Kok diam aja?Gak suka tempatnya?” Edgar membuka percakapan.
Luna menggeleng, matanya mengelilingi ruangan di bangunan yang mengambil konsep resto and bakery itu.
               “Terus kenapa diam saja?” Tanya Edgar lagi.
Namun tidak ada jawaban apapun dari Luna. Baru kali ini Edgar merasa canggung dengan seorang gadis. Otaknya terus mencari-cari obrolan apa yang kira-kira dapat membuka sedikit hal tentang gadis didepannya yang terlalu sulit untuk dibuka. Edgar tidak mau membuat pick up line yang membuatnya terlihat bodoh. Matanya tertuju pada sketch book di meja yang dibawa Luna sedari tadi.
               “Oh iya, kamu fakultas desain ya?” Mungkin dengan topik ini Luna bisa sedikit atau setidaknya bicara. Pikir Edgar.
               “Kamu tahu dari mana?”
               “Kan aku yang tanya kamu, masa kamu tanya balik.”
               “Hmm.. Iya, aku fakultas desain. Desain Komunikasi Visual lebih tepatnya.” Jawab Luna sambil menyuap choco delight ke mulutnya.
Berhasil! Ternyata topik yang dipilih Edgar setidaknya mendapat respon dari Luna. Kau memang pintar menaklukkan hati wanita, Ed. Pujinya dalam hati. “Wah keren, pasti bisa gambar atau apapun yang bersangkutan dengan seni?”
               “Sok tahu.” Jawab Luna ketus.
               “Aku sok tahu? Oke, mari kita buktikan dengan melihat karyamu di sketch book itu.” Mata Edgar melirik sketch book didepan Luna seolah berkata ayo buka bukunya.

               “Jangan, gambarku jelek-jelek. Tidak seperti gambar orang lain.” Luna sedikit menarik sketch book dihadapannya agar tidak diraih Edgar.
               “Enggak apa-apa, semua karya yang dibuat dengan hati pasti nampak istimewa.” Ucap Edgar sambil tersenyum. “Sini...”
Pertama kalinya Luna menyadari bahwa lelaki didepannya memiliki senyum yang manis dan mampu menghipnotisnya untuk beberapa detik. Dengan ragu-ragu ia memberikan sketch book miliknya hingga sekarang buku tebal itu berpindah tangan
               “Wah! Bagus banget!!”
Luna melotot melihat Edgar yang langsung memuji padahal belum sama sekali membuka sketch book miliknya. Edgar hanya cengengesan. Entahlah, Luna selalu merasa kurang percaya diri bila karya nya dilihat orang lain. Ia takut untuk mendengar reaksi Edgar setelah melihat gambar-gambar di sketch booknya.
               “Lun, ini kamu yang buat?”
Pertanyaan Edgar barusan sebenarnya agak menyontak Luna hingga ia refleks menatap kearah Edgar. “Iya, kenapa? Kurang bagus ya?”
               “Serius? Aku pikir ini buatan pelukis profesional. Tiap garis yang kamu buat sangat rapih. Selain itu di gambar ini, kamu nggak takut buat menggambar langsung dengan pulpen, harunya pakai pensil dulu biar bisa dihapus. Luar biasa.” Edgar memandangi buku sketsa Luna dengan serius. .Saat itu gambar yang dilihat Edgar adalah gambar pohon tua yang terletak di halaman kampusnya. Menurutnya, meski simple namun gambar ini terlihat hidup sampai-sampai ia bisa merasakan sejuknya suasana didalam gambar tersebut
Jujur saja, pujian Edgar barusan membuat Luna senang bukan main. Selama ini, ia hanya memendam sendiri gambar dan lukisan nya. Hanya sang Mama yang setia memuji tiap karya yang dibuat Luna. Tapi kali ini, ada seseorang yang memuji karyanya. Dan orang itu adalah Edgar.
               “Makasih ya, tapi jangan berlebihan begitu.”
               “Aku nggak melebih-lebihkan,Lun. Aku memang nggak mahir dalam hal seperti ini, tapi otakku masih cukup cerdas untuk membedakan mana karya yang layak dipuji dan mana yang tidak layak dipuji. Dan mahakarya didepanku ini adalah salah satu contoh karya yang layak dapat apresiasi” Edgar tersenyum lebar.
Luna tersenyum. Kali ini ia benar-benar senang mendapat pujian dari seseorang.  Luna melihat wajah ketulusan dan bukan paksaan untuk memuji dari wajah lelaki didepannya. Ekspresi Edgar selalu berbeda ketika halaman demi halaman dibuka. Bila yang dilihatnya gambar-gambar hewan atau pemandangan, ia tersenyum. Bila yang dibuka berupa nirmana 3D, wajahnya nampak kebingungan dan sering kali memutar buku sketsa tersebut untuk mengetahui dari sisi mana seharusnya ia memperhatikan. Dan saat membuka gambar dosen yang kubuat karikatur ia tertawa dan berkata “Kamu jahil juga ternyata”. Tanpa sadar Luna memperhatikan ekspresi tiap ekspresi yang ditimbulkan Edgar, seolah menunggu kira-kira seperti apa ekspresi selanjutnya. Kamudian terlintas di benak Luna untuk menunjukkan pada Edgar hasil lukisan di istana nya. Luna dapat mengekspektasikan bahwa ekspresi Edgar akan jauh lebih berbeda.
               Namun, ia belum siap untuk membuka dirinya pada siapapun. Dan jangan gampang terpukau hanya dengan pujian-pujian yang dilontarkan Edgar. Ia harus hati-hati dengan lelaki. Karna yang ia tahu, lelaki hanya bisa menyakiti. Hanya itu. Tidak lebih.
                                                                           000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar