Kamis, 18 September 2014

LOVE STORY (#4 Pesan Singkat)

LOVE STORY (#4 Pesan Singkat)
                                                                           000
               “Kok pulangnya agak telat, Lun?” tanya Mama sambil menyeruput teh di teras saat langkah Luna baru memasuki halaman rumah.
               “Tadi pergi sebentar sama lelaki yang melemparku bola basket.”
               “Kalian jadi pergi?!!”
Luna manyun-manyun sambil melirik Mama. Kalau saja wanita dihadapannya bukan sosok malaikat di hidupnya, mungkin sepatu ini sudah melayang tepat kearahnya.
               “Sini dong cerita!” sontak Mama langsung menghampiri dan agak menarik lenganku untuk sesegera mungkin duduk disampingnya.
               “Ma, aku mau mandi dulu.”
               “Udah nanti saja mandinya, lima menit aja kok! Sini cerita, tadi kamu ngapain aja waktu nge-date?
Kata nge-date membuat Luna kurang nyaman. Menurutnya itu bukan hal yang pantas di sebut dengan dating. Perihal Mamanya yang super rese dan jail ini, mungkin tidak akan Luna mau pergi dengan pria itu.
               “Cuma makan sambil ngobrol-ngobrol aja kok.”
               “Ngobrolin apa? Ngobrolin Mama ya?”
               “Iya, kata Edgar Mama itu cantik banget kayak bidadari.”
               “Yang bener, Lun?! Yaampun bisa saja ya dia. Aduh Mama jadi enggak enak sama kamu.” Luna memperhatikan tingkah centil Mamanya yang seperti ABG-ABG di sinetron tv.
               “Luna mau mandi dulu ya,Maaa. Gerah.”
               “Eeeh, tunggu dulu. Mama kan belum selesai bicara.” Tahan Mama. “Edgarnya mana? Kok gak ada didepan?”
               “Aku pulang sendiri.”
               “Lho? Gak dianterin?”
               “Ogah, ah. Masa baru kenal udah main antar-antar aja.”
               “Kamu kaku banget sih, ajak aja kemari. Lain kali kalau nge-date bawa ke rumah ya. Mama mau liat.”
Lagi-lagi kata nge-date membuat Luna risih. Tapi mood nya sedang malas untuk mengkarifikasi ucapan Mama. Biarlah sehari ini saja Mama senang kalau dirinya habis pergi dengan seorang pria.
                                                                               000
               Edgar menghempaskan tubuhnya ke pembaringan yang dilapisi sprei team kesukaannya, Manchester United. Meregangkan otot tangan dan leher nya, lalu tersenyum-senyum. Tidak seperti biasa saat Edgar habis pergi dengan gadis yang dikencani, ia merasa ada kesenangan tersendiri setelah menikmati dua jam bersama Luna. Mungkin karena Luna yang sedikit bicara, sehingga membuat Edgar merasa gemas dan berjuang untuk mencari topik dimana Luna bisa merespon dengan kata, bukan gumaman. Mata yang teduh dan tenang, membuat Edgar ingin selalu menatap nya tiap detik. Tapi Luna tetaplah Luna, ia selalu buang muka jika mata mereka beradu. Ia meraih handphone di sampingnya dan mencari seseorang dalam kontaknya.
Terimakasih untuk hari ini, kuharap aku bisa menikmati karya-karyamu yang lain,Miss Jutek.
Setelah menekan tombol ‘send’, ia berharap ada balasan dari pesan yang dikirimnya. Tapi sudah lebih dari dua puluh lima menit setelah pesan terkirim, handphone-nya tetap diam. Ia pasrah. Mungkin butuh usaha cukup keras agar bisa membuat gadis itu nyaman. Edgar meletakkan handphone nya dan melangkah ke kamar mandi. Namun, suara‘bzzz~ bzzz~’ terdengar, dan Edgar hafal betul bahwa itu getaran dari handphone-nya. Dilirikn ya sedikit, dan.... LUNA!
Edgar melompat ke kasur dengan sigap lalu membuka pesan yang bertuliskan
Bahkan kau tidak akan melihat secuilpun karyaku selama nama panggilanmu itu membuat moodku rusak.
Edgar tersenyum lebar membaca pesan singkat dari Luna. Gadis ini memang selalu bisa membuatnya gemas. Saat jarinya mengetik balasan pesan untuk Luna, ia berhenti.  Tanpa ragu ia menekan icon telepon berwarna hijau di layar handphone nya. Tut... tut... tut...
            “Halo?”
Jantung Edgar seperti ingin muncrat mendengar suara di ujung telepon sana.
            “I-iya halo” suara Edgar terbata-bata.
            “Ada apa? Kalau tidak terlalu penting akan kututup telepon nya. Kau menggangu waktu santaiku.”
            “Kau memang selalu jutek.” Ucap Edgar. “Terimakasih sudah menghabiskan dua jam lewat tujuh belas menit bersamaku hari ini.”
            “Terimakasih juga telah membuang dua jam  lewat tujuh belas menit waktuku, ditambah satu menit ini.”
            “Jadi aku telah membuang waktumu?”
            “Tentu. Setiap waktuku sangat berharga.”
            “Baiklah, akan kubuat tiap waktumu yang terbuang menjadi lebih berharga. Besok aku tunggu dikampus tepat didepan pohon tua yang kau gambar di sketsamu. Jam tiga sore. Bye bye!”
            “Hey! tunggu du....” Tut... Tut... Tut...
Edgar menutup telepon sambil cekikikan. Suara Luna enak didengar juga ternyata. Lagi-lagi ia merasa gemas dan tak sabar menunggu esok hari. Tak sabar melihat gadis misterius itu bergumam.

                                                                      000

            Luna memandangi handphone nya dengan bingung. Kenapa sih lelaki itu? Luna benar-benar tidak mengerti maksud dan tujuan Edgar. Bahkan ia baru bertemu kemarin lusa, dan sikapnya sudah aneh. Luna jadi agak ngeri. Jangan-jangan Edgar adalah penjahat atau semacamnya? Lain kali ia harus berhati-hati dengan lelaki bertubuh tinggi itu. Meskipun pujian nya tadi sempat membuatnya senang, tapi penjahat pun sanggup untuk memuji. Beruntung Luna menyadari bahwa kebetulan besok tidak ada kelas. Ia tersenyum kecil. Biarkan lelaki aneh itu menunggu disana.
                                                                      000
            Matahari bersinar begitu terang, sudah lebih dua jam Edgar duduk di bawah pohon tua itu. Keringatnya bercucuran. Matanya memperhatikan tiap gadis yang lewat, berharap gadis itu adalah Luna. Tapi, nihil. Luna tidak juga menampakkan batang hidungnya. Edgar sengaja membatalkan jadwal latihan basketnya hari ini, padahal pertandingan tinggal dua minggu lagi. Tak apalah, gadis ini terlanjur menyita perhatiannya.
            “Edgar, kok duduk disitu?” sapa gadis didepannya, itu Giselle. Mantan Edgar setelah Prita dan Helen. Mahasiswi fakultas Ekonomi di kampusnya. “Nunggu siapa?”
            “Nunggu teman.” Jawab Edgar seadanya. Entahlah, Giselle terlihat biasa saja dimatanya, tidak secantik saat dulu berkenalan. Padahal wajahnya cantik lengkap dengan rambut panjang yang terkulai karena hembusan angin sore itu. Mungkin karena ada gadis yang berbeda telah menyentuh relung hatinya sekarang.
            “Mau aku temani?”
            “Tidak usah, sebentar lagi dia datang kok.” Tolak Edgar segera.
            “Kamu makin ganteng aja.”  Tukas Giselle sambil mendekat kearah Edgar.
            “Ups, sorry. Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa lagi” dengan cepat Edgar berdiri dan berlalu. Jelas terlihat raut wajah bete tergambar di wajah Giselle. Biar sajalah.
Ia berjalan memasuki gedung fakultas desain. Ternyata tempatnya cukup nyaman. Banyak karya-karya seni disana. Ia menikmati berbagai macam lukisan, patung, miniatur kapal yang terbuat dari kayu dan lain-lain.
            “Hai, Ed. Tumben main ke fakultas seni.”
Edgar menoleh ke arah sumber suara, ternyata Rio. Teman SMA yang sempat masuk tim basket kampus, namun keluar karena tugas anak DKV yang bertumpuk. “Iya, lagi cari orang.” Ucap Edgar. “Kau kenal Luna?”
Rio berpikir sejenak. “Luna Prisilia?”
Edgar mana tahu siapa nama panjang Luna, tapi mungkin benar. “Iya Luna Prisilia!”
            “Hari ini kelas bukannya gak ada kelas ya? Dosen  tipografi dua lagi ke luar negeri soalnya.”
            “Jadi sekarang dia gak ada kelas?”
Wajah Edgar memurung. Kenapa nggak bilang sih ,batinnya.
            “Butuh banget ketemu sama Luna? Kalo iya bisa kutunjukkan jalan kerumahnya. Kebetulan searah.”
Edgar menatap Ria sambil tersenyum penuh harap. “Butuh banget! Ayo kesana!”

                                                              000

            “Iya sebentar.” Luna setengah berlari kearah pintu rumah yang diketuk dari luar.
            “Hallo, Miss Jutek.”
            “AAAAAAAAAAAAAA!!!!” Luna berteriak sejadinya. Kenapa lelaki aneh itu ada dirumahnya sekarang? Mungkin ia harus telepon polisi secepatnya. Ini benar-benar aneh!
            “Ada apa, Lun?!!” Mama sontak berlari kearah Luna. Teriakan putrinya itu telah menjangkau tiap sudut rumahnya.
            “Ka-kamu.... Ng-ngapain disini...?” suara Luna terbata-bata. Ia sudah tak sanggup mengeluarkan sedikitpun suaranya. Rasanya ingin sesegera mungkin menutup pintu dengan keras hingga wajah lelaki aneh itu tertubruk dan berdarah.
            “Temannya Luna ya? Ayo ayo masuk, jangan sungkan-sungkan!.” Suara Mama terdengar begitu ramah. “Temannya datang kok teriak, bikin minum dong.”
            “Ma... dia itu..”
Luna tidak berani melanjutkan kalimatnya, Mama keburu melotot kearahnya. Sial..
            “Nama saya Edgar tante, teman kampus Luna.” Edgar memperkenalkan dirinya sambil duduk di sofa berwarna krem diikuti Mama Luna.
            “Oh, Edgar yang pernah kasih nomor handphone di cat  acrylic Luna ya? Iya iya, Tante tau tuh!” cerocos Mama. “Ternyata kamu aslinya ganteng dan keren ya.”
            ‘Ah, tante orang pertama yang bilang aku ganteng dan keren.” Edgar berhenti dan menatap mata wanita cantik dengan celemek di tubuhnya itu diselingi senyum jahil. “Biasanya orang bilang aku ganteng dan keren pake banget, Tante!”
Tawa Edgar dan Mama memenuhi ruang tamu, Luna yang sedang membuat sirup jeruk di dapur menggerutu. “Siapapun yang kasih alamatku ke lelaki aneh ini, akan kubunuh!” omelnya dalam hati.
Melihat Luna datang dengan sirup jeruk dan nampan lengkap dengan wajahnya yang terlihat bete, Mama kembali melotot saat Luna melirik kearah Mama seolah menyuruh lelaki itu segera pulang.
            ”Nih, minumannya.” Ucap Luna jutek. Edgar tersenyum ramah. Ia tahu Luna pasti kaget dengan kedatangannya yang sangat tiba-tiba ini. Salahnya, tidak datang ke kampus. Rasakan.
            “Kalau begitu, Tante tinggal dulu ya. Kalian ngobrol-ngobrol aja siapa tahu nyambung, trus...”
            “Maaaaa!” Luna segera memotong kalimat Mama. Sebelum hatinya makin panas. Mama hanya tersenyum manis dan berlalu. “Ngapain kesini?!
            “Main aja, memang dilarang?” jawab Edgar santai sambil meminum sirup di hadapannya. “Em.. sirupnya kemanisan. Kau sengaja membuatku diabetes?”
            “Lebih baik kau pulang.”
Edgar berhenti menyeruput sirupnya, lalu memandangi Luna. “Kau mengusirku?”
            “Menurutmu?” jawab Luna sinis.
Setelah kata terakhir yang Luna ucapkan suasana mendadak hening. Apa Edgar tersinggung dengan perkataannya barusan? Luna merasa tidak enak hati.
            “Baiklah.” Edgar beranjak. “Aku akan pulang.” Lanjutnya sambil mengambil tas ransel biru tua di sofa. Kemudian tersenyum jahil “Tapi setelah aku melihat karyamu yang lain!” Edgar berlari ke halaman rumahnya.
            “Lho? Edgar mau langsung pulang? Baru lima menit bertamu.” Kebetulan Mama sedang menyirami tanaman cantiknya di halaman.
            “Tante,Luna suka gambar kan? Aku mau lihat dong. Habis Luna pelit.”
            “Sudahlah, lebih baik kau pulang!” Luna mulai kesal dengan tingkah laku Edgar.
Mama menunjuk-nunjuk rumah pohon yang berada di sudut kanan halaman rumah dan terletak agak kebelakang.
            “Disana?” pertanyaan Edgar diiringi anggukan kepala Mama. Setengah berlari ia menghampiri rumah pohon berwarna kecoklatan yang agak luas itu.
Luna benci melihat tindakan Edgar yang cekatan itu. Ia tidak mau siapapun melihat hasil karyanya, kecuali Mama. “Hey! Aku belum memperbolehkanmu untuk naik keatas!!”
Seperti tak acuh, Edgar dengan lincah menaiki anak tangga untuk menuju puncak rumah pohon berisi harta karun berwarna itu. Luna berlari sekencangnya dan tiba di bawah rumah pohonnya. Sebentar Edgar menundukkan kepalanya, lalu tersenyum. Luna makin kesal melihat lelaki aneh itu. Di tariknya satu kaki Edgar, dan... bruk!
            “LUNA!!” Teriak Mama dari teras membuat Luna meliriknya sejenak, lalu menatap Edgar yang sedang kesakitan dihadapannya.
            “Sudah aku bilang kan, aku belum memperbolehkan mu naik keatas!”bentak Luna. “Kau tahu sopan santun bertamu tidak?!”
Edgar diam saja, tidak ada jawaban sama sekali.
            “Jangan bertemu denganku. Kau tidak lebiih dari lelaki aneh yang tiba-tiba muncul begitu saja! Ini kali terakhir kita bertemu. Semoga kau bisa menjadi lelaki yang lebih sopan!.”
Edar masih belum menjawab. Sesaat Luna agak khawatir juga kalau-kalau terjadi apa-apa.
            “Bangun, dan lekas pergi.” Ucap Luna agak memelan.
            “Terimakasih. Lelaki aneh sepertiku memang tidak berhak menyukaimu.” Sambil berusaha berdiri, Edgar memandangi Luna. Tidak ada senyum, tidak ada keramahan.
Mama berlari kearah Edgar, “Kamu nggak apa-apa kan? Sini Tante bantu.” Luna tahu betul Mama sangat khawatir, eksprei itu muncul dari wajahnya.
            “Enggak apa-apa, Tante. Edgar pamit pulang dulu ya. Makasih Tante.” Dengan langkah pelan dan agak pincang-pincang Edgar menuju pagar besi hitam di ujung halaman rumah Luna. Diliriknya Mama, lalu tersenyum meski satu tangannya memegangi lutut kirinya.
Luna menghela napas panjang, “Akhirnya pulang juga. Agak ekstrim juga memaka lelaki itu pulang. Masa aku harus tarik satu kakinya biar jatuh baru mau pulang, harusnya kan dia....”
            “Lun.” Mama memotong kalimat Luna dan memandanginya dengan tatapan serius. “Mama kecewa sama kamu. Tidakkah kamu bisa sedikit saja bersikap ramah dengan orang?” Derap langkah Mama dengan cepat meninggalkan Luna sendirian di bawah rumah pohon tempat kejadian jatuhnya Edgar tersebut.

                                                             000
            Luna sibuk mencampur cat air di kanvasnya. Entah kenapa ia belum menemukan paduan warna sesuai keinginannya. Lukisannya pun terlihat lebih acak-acakan, dan tidak beraturan. Konsentrasinya buyar malam itu. Sikap Mama jadi mendadak dingin dan tidak bersahabat. Buktinya malam ini Mama tidak mengajaknya makan bersama, dan kebanyakan diam. Apa dia marah?
Luna mencoba mengingat kesalahan apa yang ia lakukan. Karena ia menarik kaki Edgar dan berhasil membuat lelaki itu jatuh ke tanah? Luna menaruh kuas dan kanvasnya lalu mengelap jemari yang terpoles cat dengan tissue di meja bulat putih, lalu duduk di samping jendela kamarnya dan memejam sambil memutar kembali kejadian tadi sore di otaknya. Ia terbayang wajah Edgar yang terlihat muram saat Luna membentaknya. Lelaki berkaos hitam itu tidak banyak bicara, beda dari sebelumnya yang terkesan ramai. Luna kembali membayangkan detail lelaki itu. Seperti jam tangan dan dua gelang di tangan kanannya, rambut yang sedikit gondrong namun terlihat rapi juga tubuh tinggi yang atletis. “Terimakasih. Lelaki aneh sepertiku memang tidak berhak menyukaimu.” Tiba-tiba suara lelaki tersebut seperti terdengar kembali saat Luna mencoba mengingat kejadian tiap kejadian yang terjadi sore itu. Menyukaiku? Pikirnya. Apa dia menyukaiku? Kenapa dia menyukaiku? Bukankah terlalu cepat menyukai seseorang hanya dalam hitungan hari? Apa yang dia suka dariku? Ah, semua pertanyaan itu seolah datang begitu saja dari otak Luna. Tapi kalau boleh jujur, lelaki itu memang manis. Luna suka mendengar suaranya kalau sedang bicara, terdengar renyah seolah telinga Luna menerima dengan baik kalimat-kalimat yang diucapkan Edgar. Luna mengubah posisi duduknya, kemudian membuka jendela. Semoga hembusan angin malam itu bisa membantu menjawab pertanyaannya. Rumah pohon yang menjadi istananya terlihat dengan jelas dari kamar Luna. Di anak tangga ke tujuh, terlihat agak reyot. Mungkin karena tadi ia menarik kaki Edgar di anak tangga ke tujuh itu. Terbersit rasa bersalah dalam hati Luna. Tapi... Tidak! Tidak! Salah Edgar yang menurutnya terlalu lancang untuk masuk ke istanannya. Luna menggerutu dalam hati. Kemudian diliriknya lagi rumah pohon itu, dipandanginya anak tangga ketujuh yang agak reyot itu. Pasti sakit... bisiknya. Angin malam mulai terasa di kulit Luna, hingga piyamanya agak tersibak. Ia menggigil sebentar, lalu menutup jendela kamarnya. Luna menghembuskan napas dengan berat dan mengambil sesuatu diatas lacinya.
Hey, maafkan atas perlakuanku tadi. Kurahap kakimu masih sanggup kuajak bertemu di taman kampus pukul dua siang. Sampai jumpa.

Luna menekan tombol send dengan beribu kali pertimbangan. Namun, ini yang harus ia lakukan. Mungkin. Ia berjalan pelan menuju kasurnya, dan memakai selimut sampai ke leher. Gadis itu tertidur tanpa menyadari ada seorang lelaki yang tersenyum membaca pesan singkat yang masuk satu menit lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar