LOVE STORY (#4 Pesan Singkat)
000
“Kok
pulangnya agak telat, Lun?” tanya Mama sambil menyeruput teh di teras saat
langkah Luna baru memasuki halaman rumah.
“Tadi
pergi sebentar sama lelaki yang melemparku bola basket.”
“Kalian jadi pergi?!!”
Luna
manyun-manyun sambil melirik Mama. Kalau saja wanita dihadapannya bukan sosok
malaikat di hidupnya, mungkin sepatu ini sudah melayang tepat kearahnya.
“Sini dong cerita!” sontak Mama
langsung menghampiri dan agak menarik lenganku untuk sesegera mungkin duduk
disampingnya.
“Ma, aku mau mandi dulu.”
“Udah nanti saja mandinya, lima
menit aja kok! Sini cerita, tadi kamu ngapain aja waktu nge-date?
Kata nge-date membuat Luna kurang nyaman.
Menurutnya itu bukan hal yang pantas di sebut dengan dating. Perihal Mamanya yang super rese dan jail ini, mungkin tidak
akan Luna mau pergi dengan pria itu.
“Cuma makan sambil
ngobrol-ngobrol aja kok.”
“Ngobrolin apa? Ngobrolin Mama
ya?”
“Iya, kata Edgar Mama itu cantik
banget kayak bidadari.”
“Yang bener, Lun?! Yaampun bisa
saja ya dia. Aduh Mama jadi enggak enak sama kamu.” Luna memperhatikan tingkah
centil Mamanya yang seperti ABG-ABG di sinetron tv.
“Luna mau mandi dulu ya,Maaa.
Gerah.”
“Eeeh, tunggu dulu. Mama kan
belum selesai bicara.” Tahan Mama. “Edgarnya mana? Kok gak ada didepan?”
“Aku pulang sendiri.”
“Lho? Gak dianterin?”
“Ogah, ah. Masa baru kenal udah
main antar-antar aja.”
“Kamu kaku banget sih, ajak aja
kemari. Lain kali kalau nge-date bawa
ke rumah ya. Mama mau liat.”
Lagi-lagi
kata nge-date membuat Luna risih. Tapi mood nya sedang malas untuk
mengkarifikasi ucapan Mama. Biarlah sehari ini saja Mama senang kalau dirinya
habis pergi dengan seorang pria.
000
Edgar menghempaskan tubuhnya ke
pembaringan yang dilapisi sprei team kesukaannya, Manchester United.
Meregangkan otot tangan dan leher nya, lalu tersenyum-senyum. Tidak seperti
biasa saat Edgar habis pergi dengan gadis yang dikencani, ia merasa ada
kesenangan tersendiri setelah menikmati dua jam bersama Luna. Mungkin karena
Luna yang sedikit bicara, sehingga membuat Edgar merasa gemas dan berjuang
untuk mencari topik dimana Luna bisa merespon dengan kata, bukan gumaman. Mata
yang teduh dan tenang, membuat Edgar ingin selalu menatap nya tiap detik. Tapi
Luna tetaplah Luna, ia selalu buang muka jika mata mereka beradu. Ia meraih
handphone di sampingnya dan mencari seseorang dalam kontaknya.
Terimakasih untuk hari ini, kuharap aku bisa menikmati
karya-karyamu yang lain,Miss Jutek.
Setelah
menekan tombol ‘send’, ia berharap ada balasan dari pesan yang dikirimnya. Tapi
sudah lebih dari dua puluh lima menit setelah pesan terkirim, handphone-nya
tetap diam. Ia pasrah. Mungkin butuh usaha cukup keras agar bisa membuat gadis
itu nyaman. Edgar meletakkan handphone nya dan melangkah ke kamar mandi. Namun,
suara‘bzzz~ bzzz~’ terdengar, dan
Edgar hafal betul bahwa itu getaran dari handphone-nya. Dilirikn ya sedikit,
dan.... LUNA!
Edgar
melompat ke kasur dengan sigap lalu membuka pesan yang bertuliskan
Bahkan kau
tidak akan melihat secuilpun karyaku selama nama panggilanmu itu membuat moodku
rusak.
Edgar
tersenyum lebar membaca pesan singkat dari Luna. Gadis ini memang selalu bisa
membuatnya gemas. Saat jarinya mengetik balasan pesan untuk Luna, ia
berhenti. Tanpa ragu ia menekan icon
telepon berwarna hijau di layar handphone nya. Tut... tut... tut...
“Halo?”
Jantung
Edgar seperti ingin muncrat mendengar suara di ujung telepon sana.
“I-iya halo” suara Edgar
terbata-bata.
“Ada apa? Kalau tidak terlalu
penting akan kututup telepon nya. Kau menggangu waktu santaiku.”
“Kau memang selalu jutek.” Ucap
Edgar. “Terimakasih sudah menghabiskan dua jam lewat tujuh belas menit
bersamaku hari ini.”
“Terimakasih juga telah membuang dua
jam lewat tujuh belas menit waktuku,
ditambah satu menit ini.”
“Jadi aku telah membuang waktumu?”
“Tentu. Setiap waktuku sangat
berharga.”
“Baiklah, akan kubuat tiap waktumu
yang terbuang menjadi lebih berharga. Besok aku tunggu dikampus tepat didepan
pohon tua yang kau gambar di sketsamu. Jam tiga sore. Bye bye!”
“Hey! tunggu du....” Tut... Tut... Tut...
Edgar
menutup telepon sambil cekikikan. Suara Luna enak didengar juga ternyata.
Lagi-lagi ia merasa gemas dan tak sabar menunggu esok hari. Tak sabar melihat
gadis misterius itu bergumam.
000
Luna memandangi handphone nya dengan
bingung. Kenapa sih lelaki itu? Luna benar-benar tidak mengerti maksud dan
tujuan Edgar. Bahkan ia baru bertemu kemarin lusa, dan sikapnya sudah aneh.
Luna jadi agak ngeri. Jangan-jangan Edgar adalah penjahat atau semacamnya? Lain
kali ia harus berhati-hati dengan lelaki bertubuh tinggi itu. Meskipun pujian
nya tadi sempat membuatnya senang, tapi penjahat pun sanggup untuk memuji.
Beruntung Luna menyadari bahwa kebetulan besok tidak ada kelas. Ia tersenyum
kecil. Biarkan lelaki aneh itu menunggu disana.
000
Matahari bersinar begitu terang,
sudah lebih dua jam Edgar duduk di bawah pohon tua itu. Keringatnya bercucuran.
Matanya memperhatikan tiap gadis yang lewat, berharap gadis itu adalah Luna.
Tapi, nihil. Luna tidak juga menampakkan batang hidungnya. Edgar sengaja
membatalkan jadwal latihan basketnya hari ini, padahal pertandingan tinggal dua
minggu lagi. Tak apalah, gadis ini terlanjur menyita perhatiannya.
“Edgar, kok duduk disitu?” sapa
gadis didepannya, itu Giselle. Mantan Edgar setelah Prita dan Helen. Mahasiswi
fakultas Ekonomi di kampusnya. “Nunggu siapa?”
“Nunggu teman.” Jawab Edgar
seadanya. Entahlah, Giselle terlihat biasa saja dimatanya, tidak secantik saat
dulu berkenalan. Padahal wajahnya cantik lengkap dengan rambut panjang yang
terkulai karena hembusan angin sore itu. Mungkin karena ada gadis yang berbeda
telah menyentuh relung hatinya sekarang.
“Mau aku temani?”
“Tidak usah, sebentar lagi dia
datang kok.” Tolak Edgar segera.
“Kamu makin ganteng aja.” Tukas Giselle sambil mendekat kearah Edgar.
“Ups, sorry. Aku harus pergi
sekarang. Sampai jumpa lagi” dengan cepat Edgar berdiri dan berlalu. Jelas
terlihat raut wajah bete tergambar di wajah Giselle. Biar sajalah.
Ia
berjalan memasuki gedung fakultas desain. Ternyata tempatnya cukup nyaman.
Banyak karya-karya seni disana. Ia menikmati berbagai macam lukisan, patung,
miniatur kapal yang terbuat dari kayu dan lain-lain.
“Hai, Ed. Tumben main ke fakultas
seni.”
Edgar
menoleh ke arah sumber suara, ternyata Rio. Teman SMA yang sempat masuk tim
basket kampus, namun keluar karena tugas anak DKV yang bertumpuk. “Iya, lagi
cari orang.” Ucap Edgar. “Kau kenal Luna?”
Rio
berpikir sejenak. “Luna Prisilia?”
Edgar
mana tahu siapa nama panjang Luna, tapi mungkin benar. “Iya Luna Prisilia!”
“Hari ini kelas bukannya gak ada
kelas ya? Dosen tipografi dua lagi ke
luar negeri soalnya.”
“Jadi sekarang dia gak ada kelas?”
Wajah
Edgar memurung. Kenapa nggak bilang sih
,batinnya.
“Butuh banget ketemu sama Luna? Kalo
iya bisa kutunjukkan jalan kerumahnya. Kebetulan searah.”
Edgar
menatap Ria sambil tersenyum penuh harap. “Butuh banget! Ayo kesana!”
000
“Iya sebentar.” Luna setengah
berlari kearah pintu rumah yang diketuk dari luar.
“Hallo, Miss Jutek.”
“AAAAAAAAAAAAAA!!!!” Luna berteriak
sejadinya. Kenapa lelaki aneh itu ada dirumahnya sekarang? Mungkin ia harus
telepon polisi secepatnya. Ini benar-benar aneh!
“Ada apa, Lun?!!” Mama sontak
berlari kearah Luna. Teriakan putrinya itu telah menjangkau tiap sudut
rumahnya.
“Ka-kamu.... Ng-ngapain disini...?”
suara Luna terbata-bata. Ia sudah tak sanggup mengeluarkan sedikitpun suaranya.
Rasanya ingin sesegera mungkin menutup pintu dengan keras hingga wajah lelaki
aneh itu tertubruk dan berdarah.
“Temannya Luna ya? Ayo ayo masuk,
jangan sungkan-sungkan!.” Suara Mama terdengar begitu ramah. “Temannya datang
kok teriak, bikin minum dong.”
“Ma... dia itu..”
Luna
tidak berani melanjutkan kalimatnya, Mama keburu melotot kearahnya. Sial..
“Nama saya Edgar tante, teman kampus
Luna.” Edgar memperkenalkan dirinya sambil duduk di sofa berwarna krem diikuti
Mama Luna.
“Oh, Edgar yang pernah kasih nomor
handphone di cat acrylic Luna ya? Iya
iya, Tante tau tuh!” cerocos Mama. “Ternyata kamu aslinya ganteng dan keren
ya.”
‘Ah, tante orang pertama yang bilang
aku ganteng dan keren.” Edgar berhenti dan menatap mata wanita cantik dengan
celemek di tubuhnya itu diselingi senyum jahil. “Biasanya orang bilang aku
ganteng dan keren pake banget, Tante!”
Tawa
Edgar dan Mama memenuhi ruang tamu, Luna yang sedang membuat sirup jeruk di
dapur menggerutu. “Siapapun yang kasih alamatku ke lelaki aneh ini, akan
kubunuh!” omelnya dalam hati.
Melihat
Luna datang dengan sirup jeruk dan nampan lengkap dengan wajahnya yang terlihat
bete, Mama kembali melotot saat Luna melirik kearah Mama seolah menyuruh lelaki
itu segera pulang.
”Nih, minumannya.” Ucap Luna jutek. Edgar
tersenyum ramah. Ia tahu Luna pasti kaget dengan kedatangannya yang sangat
tiba-tiba ini. Salahnya, tidak datang ke kampus. Rasakan.
“Kalau begitu, Tante tinggal dulu
ya. Kalian ngobrol-ngobrol aja siapa tahu nyambung, trus...”
“Maaaaa!” Luna segera memotong
kalimat Mama. Sebelum hatinya makin panas. Mama hanya tersenyum manis dan
berlalu. “Ngapain kesini?!
“Main aja, memang dilarang?” jawab
Edgar santai sambil meminum sirup di hadapannya. “Em.. sirupnya kemanisan. Kau
sengaja membuatku diabetes?”
“Lebih baik kau pulang.”
Edgar
berhenti menyeruput sirupnya, lalu memandangi Luna. “Kau mengusirku?”
“Menurutmu?” jawab Luna sinis.
Setelah
kata terakhir yang Luna ucapkan suasana mendadak hening. Apa Edgar tersinggung
dengan perkataannya barusan? Luna merasa tidak enak hati.
“Baiklah.” Edgar beranjak. “Aku akan
pulang.” Lanjutnya sambil mengambil tas ransel biru tua di sofa. Kemudian
tersenyum jahil “Tapi setelah aku melihat karyamu yang lain!” Edgar berlari ke
halaman rumahnya.
“Lho? Edgar mau langsung pulang?
Baru lima menit bertamu.” Kebetulan Mama sedang menyirami tanaman cantiknya di
halaman.
“Tante,Luna suka gambar kan? Aku mau
lihat dong. Habis Luna pelit.”
“Sudahlah, lebih baik kau pulang!”
Luna mulai kesal dengan tingkah laku Edgar.
Mama
menunjuk-nunjuk rumah pohon yang berada di sudut kanan halaman rumah dan
terletak agak kebelakang.
“Disana?” pertanyaan Edgar diiringi
anggukan kepala Mama. Setengah berlari ia menghampiri rumah pohon berwarna
kecoklatan yang agak luas itu.
Luna
benci melihat tindakan Edgar yang cekatan itu. Ia tidak mau siapapun melihat
hasil karyanya, kecuali Mama. “Hey! Aku belum memperbolehkanmu untuk naik
keatas!!”
Seperti
tak acuh, Edgar dengan lincah menaiki anak tangga untuk menuju puncak rumah
pohon berisi harta karun berwarna itu. Luna berlari sekencangnya dan tiba di
bawah rumah pohonnya. Sebentar Edgar menundukkan kepalanya, lalu tersenyum.
Luna makin kesal melihat lelaki aneh itu. Di tariknya satu kaki Edgar, dan... bruk!
“LUNA!!” Teriak Mama dari teras
membuat Luna meliriknya sejenak, lalu menatap Edgar yang sedang kesakitan
dihadapannya.
“Sudah aku bilang kan, aku belum
memperbolehkan mu naik keatas!”bentak Luna. “Kau tahu sopan santun bertamu
tidak?!”
Edgar
diam saja, tidak ada jawaban sama sekali.
“Jangan bertemu denganku. Kau tidak
lebiih dari lelaki aneh yang tiba-tiba muncul begitu saja! Ini kali terakhir
kita bertemu. Semoga kau bisa menjadi lelaki yang lebih sopan!.”
Edar
masih belum menjawab. Sesaat Luna agak khawatir juga kalau-kalau terjadi
apa-apa.
“Bangun, dan lekas pergi.” Ucap Luna
agak memelan.
“Terimakasih. Lelaki aneh sepertiku
memang tidak berhak menyukaimu.” Sambil berusaha berdiri, Edgar memandangi
Luna. Tidak ada senyum, tidak ada keramahan.
Mama
berlari kearah Edgar, “Kamu nggak apa-apa kan? Sini Tante bantu.” Luna tahu
betul Mama sangat khawatir, eksprei itu muncul dari wajahnya.
“Enggak apa-apa, Tante. Edgar pamit
pulang dulu ya. Makasih Tante.” Dengan langkah pelan dan agak pincang-pincang
Edgar menuju pagar besi hitam di ujung halaman rumah Luna. Diliriknya Mama,
lalu tersenyum meski satu tangannya memegangi lutut kirinya.
Luna
menghela napas panjang, “Akhirnya pulang juga. Agak ekstrim juga memaka lelaki
itu pulang. Masa aku harus tarik satu kakinya biar jatuh baru mau pulang,
harusnya kan dia....”
“Lun.” Mama memotong kalimat Luna
dan memandanginya dengan tatapan serius. “Mama kecewa sama kamu. Tidakkah kamu
bisa sedikit saja bersikap ramah dengan orang?” Derap langkah Mama dengan cepat
meninggalkan Luna sendirian di bawah rumah pohon tempat kejadian jatuhnya Edgar
tersebut.
000
Luna sibuk mencampur cat air di
kanvasnya. Entah kenapa ia belum menemukan paduan warna sesuai keinginannya.
Lukisannya pun terlihat lebih acak-acakan, dan tidak beraturan. Konsentrasinya
buyar malam itu. Sikap Mama jadi mendadak dingin dan tidak bersahabat. Buktinya
malam ini Mama tidak mengajaknya makan bersama, dan kebanyakan diam. Apa dia
marah?
Luna
mencoba mengingat kesalahan apa yang ia lakukan. Karena ia menarik kaki Edgar
dan berhasil membuat lelaki itu jatuh ke tanah? Luna menaruh kuas dan kanvasnya
lalu mengelap jemari yang terpoles cat dengan tissue di meja bulat putih, lalu
duduk di samping jendela kamarnya dan memejam sambil memutar kembali kejadian
tadi sore di otaknya. Ia terbayang wajah Edgar yang terlihat muram saat Luna
membentaknya. Lelaki berkaos hitam itu tidak banyak bicara, beda dari
sebelumnya yang terkesan ramai. Luna kembali membayangkan detail lelaki itu.
Seperti jam tangan dan dua gelang di tangan kanannya, rambut yang sedikit
gondrong namun terlihat rapi juga tubuh tinggi yang atletis. “Terimakasih. Lelaki aneh sepertiku memang
tidak berhak menyukaimu.” Tiba-tiba suara lelaki tersebut seperti terdengar
kembali saat Luna mencoba mengingat kejadian tiap kejadian yang terjadi sore
itu. Menyukaiku? Pikirnya. Apa dia menyukaiku? Kenapa dia menyukaiku? Bukankah
terlalu cepat menyukai seseorang hanya dalam hitungan hari? Apa yang dia suka
dariku? Ah, semua pertanyaan itu seolah datang begitu saja dari otak Luna. Tapi
kalau boleh jujur, lelaki itu memang manis. Luna suka mendengar suaranya kalau
sedang bicara, terdengar renyah seolah telinga Luna menerima dengan baik
kalimat-kalimat yang diucapkan Edgar. Luna mengubah posisi duduknya, kemudian
membuka jendela. Semoga hembusan angin malam itu bisa membantu menjawab
pertanyaannya. Rumah pohon yang menjadi istananya terlihat dengan jelas dari
kamar Luna. Di anak tangga ke tujuh, terlihat agak reyot. Mungkin karena tadi
ia menarik kaki Edgar di anak tangga ke tujuh itu. Terbersit rasa bersalah
dalam hati Luna. Tapi... Tidak! Tidak! Salah Edgar yang menurutnya terlalu
lancang untuk masuk ke istanannya. Luna menggerutu dalam hati. Kemudian
diliriknya lagi rumah pohon itu, dipandanginya anak tangga ketujuh yang agak
reyot itu. Pasti sakit... bisiknya.
Angin malam mulai terasa di kulit Luna, hingga piyamanya agak tersibak. Ia
menggigil sebentar, lalu menutup jendela kamarnya. Luna menghembuskan napas
dengan berat dan mengambil sesuatu diatas lacinya.
Hey, maafkan atas perlakuanku tadi.
Kurahap kakimu masih sanggup kuajak bertemu di taman kampus pukul dua siang.
Sampai jumpa.
Luna
menekan tombol send dengan beribu kali pertimbangan. Namun, ini yang harus ia
lakukan. Mungkin. Ia berjalan pelan menuju kasurnya, dan memakai selimut sampai
ke leher. Gadis itu tertidur tanpa menyadari ada seorang lelaki yang tersenyum
membaca pesan singkat yang masuk satu menit lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar