Siapa
dia?
................................................................................................................................................................
Edgar
masih terheran-heran dengan wanita yang baru saja ditemuinya. Siapa dia? Baru kali
ini ia melihatnya dikampus. Mungkin dari kampus lain yang berkunjung. Namun,
langkahnya terhenti ketika ia merasa menginjak sesuatu. Ah, cat acrylic berwarna merah. Edgar megambil
cat acrylic merah yang isinya sudah hampir habis itu dan memperhatikannya. Luna. Luna? Jadi nama gadis itu Luna?
Mungkin Luna mahasiswi desain? Edgar mengira-ngira, dan perkiraannya mendekati
sempurna karena draft tube yang kebanyakan
dibawa oleh mahasiswa/i fakultas desain ditenteng gadis itu, lebih mungkin hipotesisnya
benar. Kemudian ia tersenyum sambil memperhatikan cat air merah ditangannya. Kesempatan bagus untuk bertemu gadis itu
kedua kalinya, Edgar membatin.
000
Tiba
di kelas, Luna masih saja memegangi bahu kanannya yang masih terasa nyeri. Mungkin
diurut Mama adalah hal yang paling Luna inginkan sekarang. Dasar lelaki sialan,
ucapnya dalam hati sambil mengeluarkan sketch book yang selalu wajib dibawa. Buku
berukuran A3 ini sudah hampir penuh lagi karena terlalu banyak gambar-gambar
yang kebanyakan bukan gambar tugas, tapi gambar-gambar hasil keinsengannya
kalau sedang bosan. Luna membolak-balik kertas sketch booknya sambil mencari-cari
kertas yang kosong, satu persatu gambar ia perhatikan, ada sketsa nirmana 3D
yang sukses membuatnya mendapat IP cukup tinggi dan ternyata demi membuat
sketsa nirmana itu ia meghabiskan cukup banyak halaman kertas, borosnya. Kemudian
ia tersenyum mendapatkan apa yang tergambar di buku sketsa di halaman
selanjutnya, gambar dosen yang dibuat karikatur olehnya dua minggu lalu. Mungkin
ukuran kepalanya yang terlalu besar, atau perut buncitnya yang terlalu
menggembung? Entahlah, gambar itu cukup menggelitik. Setidaknya rasa nyeri di
bahunya agak terlupakan sampai nanti Mama memijit bahu kanannya dirumah.
000
“Pelan-pelan,Maaa.”
“Iya
ini pelan kok, kamu kalo dipijit diem kenapa.” Mama mulai ngedumel karena aku
yang tidak mau diam kalau sedang dipijit. “Kamu kenapa pakai acara kena bola
basket segala sih?”
Kalau ingat kejadian tadi siang, Luna agak kesal. Tapi
ekspresi lelaki itu saat mengucapkan kata maaf berulang-ulang memang lucu. “Harusnya
mama tanya sama lelaki yang melempar bola basket kearahku itu.”
“Oh
jadi laki-laki nih? Gimana? Ganteng gak? Ganteng gak? Kamu naksir?” Mama
tiba-tiba berubah jadi super kepo.
“Biasa
aja.” Jawabku ogah-ogahan.
Mama mendengus kesal. “Yakin biasa aja? Cowok-cowok
yang main basket itu biasanya keren-keren Lun, kamu pernah nonton sinetron di
tv kan? Iya kayak gitu.”
“Terus
kalau keren kenapa?”
“Ah...
kamu suka gitu deh. Jadi cowoknya keren nih? Eh eh kenalin ke Mama dong.”
“Aduh,
Mamaaa. Udah deh, pijitin aku dulu.”
“Huu
gitu banget deh.” Mama kelihatan agak kesal. “Nih dipijitin nih!” pijitan Mama
berubah menjadi lebih keras dari sebelumnya. “Gimana? Enak?!”
“A-aduh,
Ma-Mamaaa!”
“Makanya
kalau diajak bicara tuh jangan jutek-jutek kenapa. Gimana cowok mau deketin
kamu.”
“Kenapa
sih Ma, mesti ngomongin cowok terus? Luna bosen.”
“Soalnya
kamu belum pernah punya pacar,Luna. Mama takut kamu suka sesama jenis.”
Aku mengernyitkan dahi sambil menatap Mama heran. “Yaampun Mama mikirnya jauh banget,gak
mungkin Ma. Aku belum bisa buka hati buat para cowok-cowok aja, mereka cuma
bisa nyakitin doang.”
“Nyakitin?
Emang kamu udah pernah rasain gimana rasanya disakiti cowok?” Mama memajukan
kepalanya, seolah ingin mengetahui lebih dalam dari perkataanku barusan.
“Udah.”
“Sama
siapa, Lun? Kok kamu gak cerita?” Kini mama mengerutkan dahinya, semakin serius.
“Papa.”
Suasana menjadi hening. Tangan mama terasa melemas
di bahuku. Ia membenarkan posisi duduknya.
“Ma..
aku..”
“Luna,
kamu langsung istirahat aja ya biar nyerinya hilang. Mama tidur duluan.”
Aku tau mama hanya menghindar perihal topik yang
tidak mengenakan ini. Aku merasa sedikit bersalah atas ucapanku yang
menyinggung masalah papa. Sudah lima tahun terakhir papa tidak pulang kerumah. Aku
yang mengusirnya. Kalau saja tangan Papa tidak terlalu ringan, mau bertanggung
jawab dan mulutnya bisa sedikit dijaga, mungkin aku bisa lebih bahagia. Aku mengusirnya,
dan sampai saat ini ia tidak pernah kembali, seperti mati ditelan bumi. Tapi lebih
baik tidak dalam keluarga utuh, dibanding dalam satu keluarga namun tidak ada
kasih sayang sedikitpun. Selama masih ada Papa dirumah, tidak ada satu hari pun
kulalui dengan damai layaknya keluarga lain. Suasana rumah selalu gempar dan
ribut, tangan Papa yang terlampau ringan untuk memberi pukulan demi pukulan di
tubuh Mama membuatku gerah. Lebih baik ia tidak ada dirumah. Buktinya Mama
lebih terlihat bahagia sekarang. Entah itu hanya kepura-puraan atau apapun,
setidaknya Mama bisa tersenyum. Aku menghela nafas panjang. Seharusnya aku
tidak mengungkit-ungkit apapun mengenai Papa didepan Mama.
Aku melangkahkan kaki, menuju pintu berwarna putih
dan membukanya perlahan. Benar saja, Mama menangis. Pemandangan ini yang paling
aku benci dalam hidupku. Melihat Mama menangis membuat hatiku terasa seperti
dihujam pisau beribu-ribu kali
“Ma,
maaf. Maksud Luna bukan mau bikin Mama sedih..” aku meraih tubuh mama yang
terduduk di pinggir kasurnya.
“Mama
sedih bukan karena Papamu, Lun. Tapi karena kamu merasa tersakiti karena
kelakuan Papamu. Maafkan Mama, Lun.”
“Mama
enggak salah..”
“Kalau
saja Mama tidak salah memilih pria, pasti kita tidak akan begini. Kamu akan
merasakan bagaimana bahagianya hidup dengan keluarga lengkap.” Bahu mama mulai
bergetar, dan aku merasakannya.
“Itu
semua sudah berlalu, Ma. Sudah masa lalu. Jadi Mama nggak usah menyalahkan diri
sendiri.” Aku mengusap-usap punggung Mama.
“Lun..”
Mama memegang dan menatap lekat mataku, hingga mata kita beradu. “Jangan karena
sikap Papa yang mungkin membuatmu terluka, Luna jadi benci pada semua lelaki.
Tidak semua lelaki seperti Papamu, Nak.”
“Tapi
Luna nggak butuh lelaki manapun. Luna bahagia sama Mama. Luna mau hidup sama
Mama terus.”
Mama menggeleng, kemudian tetes air matanya mulai
berjatuhan, “Enggak,Lun. Enggak. Mama enggak mungkin bisa sama Luna terus.
Suatu saat, kamu harus bahagia, kamu harus kejar
kebahagiaanmu sendiri. Pilihlah pria yang benar-benar mencintaimu. Karena suatu saat
kamu pasti membutuhkan sosok pria sebagai pendampingmu sampai mati. Sampai suatu saat Mama tidak dapat mendampingimu lagi, Luna...”
“Ma..
tapi aku..”
Mama menaruh jari telunjuknya tepat di bibirku. “
Ssst...” Ucapnya. Lalu Mama tersenyum.
“Aku
tidur sama Mama malam ini ya.” Lanjutku sambil memeluk wanita perkasa
dihadapanku dengan erat. Sangat erat.
Hahahahaha. iay tunggu ya satu hari satu episode. gue mau ngalahin sinetron tersanjung!
BalasHapus