“Kau
telat tujuh menit.” Ternyata Edgar sampai lebih dulu. Luna agak kagum dengan ke
on-time-an Edgar.
“Mungkin
kau yang datangnya terlalu cepat.” Balas Luna. “Yang kemarin, maaf ya..”
“Kau
terlalu to the point, Lun. Nggak basa-basi
dulu, baru juga datang.” Edgar tersenyum. “Sini duduk, aku nggak gigit kok.”
“Kalau
kau berani menggigitku, akan ku patahkan kakimu yang satu lagi.” Canda Luna
sambil mengambil posisi tepat disamping Edgar. Angin di taman kampus berhembus
agak kencang. Luna bolak balik membetulkan rambutnya yang tersibak oleh angin
nakal itu.
“Apa
yang membuat gadis sejutek kau minta maaf? Bukan karena Tante yang memaksamu,
kan?
“Tentu,
bukan. Aku meminta maaf padamu agar di lain waktu aku bisa menarik kakimu untuk
kedua kalinya.”
“Kau benar-benar jahat, Lun” tawa Edgar.
“Ngomong-ngomong, kenapa kau begitu marah saat aku ,mencoba untuk naik ke rumah
pohon itu? Kamu merakit boom?”
“Di dalam rumah pohon itu, aku
menyimpan mayat. Mayat untuk orang yang dengan seenaknya naik keatas tanpa
izinku.” Sindir Luna.
“Aku harap kau tidak serius
dengan perkataan barusan.”
“Tentu tidak, Ed! Hahaha.”
Hati Edgar terasa hangat saat Luna menyebut namanya dalam
tawa. Sebelumnya belum pernah gadis itu mengucap namanya. “Terus, kenapa kau
begitu menahanku?”
“Aku
belum percaya diri menunjukkan lukisan-lukisanku pada siapapun, kecuali Mama.”
“Kenapa?”
“Entahlah...”
Suasana hening. Hanya suara gemerisik daun kering yang jatuh
lalu tertiup angin. Seolah membisu.
“Kalau
begitu, sebelum kau tunjukan ke orang lain. Kau bisa menyuruhku untuk meliht
lukisanmu.”
“Kau
yakin?”
“Asal
kau tidak menarik kakiku hingga jatuh. Ayo berangkat!” Edgar beranjak dari
tempat duduknya, diikuti Luna.
000
“Whoa!
Ini luar biasa!!” Edgar ternganga-nganga melihat lukisan Luna yang begitu
banyak di dalam rumah pohon Luna.
“Selamat
datang di istanaku.” Sambut Luna ramah
Aroma cat air langsung menyergap hidung Edgar saat langkah
pertama memasuki rumah pohon Luna. Edgar memandangi satu persatu lukisan itu
dari yang paling pojok, tengah, hingga sudut-sudut. Mengagumi betapa indahnya
karya gadis itu. Entah kekurang percaya diri dari mana hingga ia takut untuk
mempublikasi lukisannya, dengan karya ini, Luna bisa jadi pelukis terkenal.
“Butuh berapa lama kau mengerjakan lukisan-lukisan ini?
“Hm...
tidak tentu. Tapi setiap satu hari, biasanya aku bisa melukis sebanyak dua atau
lima lukisan.”
Edgar mengangguk, seperti peneliti lukisan profesional.
Matanya masih sibuk mengitari ruangan itu. Teryata Luna sejak kecil memang
sudah gemar melukis, Edgar tersenyum melihat foto gadis itu dengan kuas dan
kanvas, kira-kira umurnya enam tahun. Lukisan-lukisan Luna kecil juga masih
dipajang. Tapi yang paling menarik perhatian Edgar adalah lukisan lelaki dengan
kumisnya, gadis berpita merah, dan wanita berbaju cokelat. Terdapat tulisan
kecil disana, Ilove you, Dad. I love you,
Mom. –Luna Prisila. Edgar tersenyum simpul, pasti Luna memiliki keluarga
yang bahagia, pikir Edgar. “Sayang sekali lukisan-lukisan ini hanya ditumpuk.
Pasti mereka sedih.”
Luna mengetahui maksud Edgar, pasti untuk mempublikasi
karya-karyanya. Tapi ia memilih untuk diam.
“Pemandangan
disini cukup indah. Wah, ternyata di ujung sana ada danau, ya?” pandangan
mata Edgar teralih melihat objek cantik yang dapat dijangkau dari jendela rumah
pohon Luna. “Kau pernah kesana?”
Luna mengangguk. “Ya. Tapi dulu. Sekarang danau tak sebersih
dulu, sudah banyak sampah dan airnya cukup keruh.”
“Kalau
begitu, ceritakan padaku tentang hidupmu, agar aku tidak mengira kau adalah
psikopat yang sedang kambuh saat menarik kakiku.” Canda Edgar sambil mencari
posisi duduk yang nyaman. Mungkin di jendela yang mengarah ke danau adalah
tempat paling nyaman menurutnya.
“Kau
sangat menyebalkan.” Luna terduduk di pintu dekat tangga rumah pohonnya. Ia mengayun-ayunkan
kakinya hingga angin terasa seperti sedang menggelitik. “Kau dulu.”
“Aku?”
Luna membalas dengan anggukan.
“Aku...
seorang lelaki seperti kebanyakan. Namun ada satu yang membedakan aku dengan
lelaki lain.” Edgar terdiam sesaat. “Aku sedikit lebih tampan dari mereka.”
Luna merasa ingin mencubit Edgar hingga membekas biru
keunguan. Tapi entah kenapa lelucon-lelucon Edgar selalu berhasil melukiskan
senyum di bibirnya.
“Selain
tampan, aku adalah kapten basket di kampus. Kau tau? Seluruh wanita di kampus
selalu berteriak jika aku sedang mendribel bola!” Edgar nampak menggebu-gebu. “Teriakannya
seperti ini, ‘Aaa! Edgar! Edgar! Semangat
Edgar! Aaa!’ lalu kau tau apa yang mereka lakukan selanjutnya?! Kalau aku
berhasil mencetak three points dengan
mulus, wuih.. Mereka menari-nari sambil menggoyang-goyangkan pom-pomnya. Apalagi
Jenni dan Gita, mereka paling bersemangat dan, um... menurutku cukup cantik
untuk ukuran junior tingkat pertama, tapi roknya terlalu mini”
Luna melongo. Menyaksikan Edgar yang tanpa sadar sudah
berubah dari posisi duduknya yang nyaman menjadi berdiri sambil memeragakan
tiap cerita yang diucapkan sambil mengebu-gebu. “Kau kehabisan obat?” delik
Luna sambil menawan tawa yang hampir meledak setelah melihat Edgar yang nampak
malu-malu setelah dirinya menyadari bahwa posisinya telah berubah karena
terlalu bersemangat. Edgar agak dongkol dengan candaan Luna barusan, kesan
pertama yang ingin dirinya tampilkan harusnya menjadi lelaki cool, sekarang semuannya gagal.
“Sekarang
giliranmu.” Edgar mencoba mengalihkan pembicaraan.
Luna mencoba menahan tawanya. Sempat Edgar melirik senyuman
Luna yang menurutnya agak menyebalkan itu. Namun Luna menggeleng.
“Kalau
kau nggak mau, berarti aku yang bertanya dan kau yang menjawab. Biar adil.”
“Okeee.”
Jawab Luna malas-malas.
“Apa
hobi-mu selain melukis?”
“Hm...”
Luna berpikir sejenak. “Tidak ada. Melukis adalah hobiku satu-satunya.”
“Kalau
begitu, kenapa kau tidak ingin hasil lukisanmu di publikasi? Hasil karyamu akan
sia-sia, kan?”
“Aku
melukis bukan untuk dilihat orang. Aku melukis untuk diriku. Hanya untuk
diriku, tidak lebih.”
“Kau
bisa jadi pelukis terkenal, Lun.”
“Aku
tidak mau jadi terkenal. Aku mau jadi gadis biasa saja.”
“Aku
bisa membantumu dikenal orang dengan lukisanmu ini.” Ucap Edgar. “Kebetulan aku
mahasiswa jurusan jurnalistik tingkat akhir. Aku suka meliput hal-hal yang
menarik. Dan lukisanmu bisa menjadi bahan liputanku di lain hari. Bagaimana?”
Luna tetap menggeleng. Sepertinya tidak tergoda sama sekali
dengan tawaran Edgar. Sambil mengehela napas panjang, Edgar mencoba memaklumi sikap keras kepala yang
dimiliki Luna.
“Mengapa
kau begitu misterius?” tanya Edgar.
“Aku
tidak misterius, aku hanya sedikit lebih pendiam dari pada kamu, Edgar.”
“Kekasihmu
pasti bingung setengah mati dengan sikapmu itu.”
“Aku
tidak punya kekasih.”
Edgar mengerutkan dahinya, “Tidak ada?”
“Lebih
tepatnya, belum pernah memiliki kekasih.”
“Belum
pernah?!” Edgar makin mengerutkan dahinya. Kemudian mencoba mengingat berapa
puluh perempuan yang sempat singgah di hatinya. Namun ada rasa bahagia yang
muncul di hatinya saat mendengar pengakuan Luna barusan. Berarti tidak ada
hambatan, jalan terus, bro!
“Bahkan
di ruang sekecil ini kau tidak bisa mendengar suaraku? Perlu kuulang berapa
kali lagi?” dengus Luna kesal.
“Kau
tidak memiliki kekasih bukan karena menyukai sesama jenis kan?” canda Edgar
dengan intonasi yang membuat Luna dongkol.
“Karena
aku tidak sepertimu, yang dengan mudah memacari wanita cantik di kampus.”
Luna berani bersumpah untuk tidak melupakan ekspresi Edgar
setelah mendengar jawaban nya barusan. Raut wajah Edgar berubah menjadi tak
karuan. Agak grogi, ingin menjawab namun tak jadi, dan malu-malu.
“Kenapa
diam?” tekan Luna. “Tasya, Gina, dan Olive adalah teman satu kelasku yang
adalah mantanmu. Iya kan?” ternyata Luna telah mengetahui sikap playboy Edgar
yang hobi mengencani junior-junior cantik di kampusnya. Dan kebetulan tiga temannya
itu bernasib buruk, mau saja dijadikan pacar sementara Edgar. “Setelah putus
dengan mereka, wanita cantik dan seksi mana lagi yang kau jadikan permainan?”
“Kau
membuatku mati rasa, Lun.” Jawab Edgar bete. “Itu sudah berlalu setengah bulan
yang lalu, kan.”
“Well, kau mengaku juga kan. Hahahaha”
Luna merasa menang. Seperti seorang detektif yang berhasil memecahkan kasus
tersulit. “Wanita itu ibarat boneka. Bisa kau mainkan sesuka hatimu. Tapi kau
harus ingat.” Luna memegang pundak Edgar hingga Edgar menatap matanya sambil
mengatakan, “Lelaki sejati tidak pernah main boneka.” Kemudian tersenyum.
Seperti terkena sihir, Edgar bisa melihat wajah Luna dari
dekat sampai membuatnya membeku dalam beberapa detik sampai Luna kembali ke
posisinya. Kalimat yang bijak dengan suara lembut. Tidak seperti biasanya yang
terdengar dingin dan jutek. Namun yang membuat hatinya terasa hangat adalah, Luna
tersenyum. Baru kali itu ia melihat gadis misterius itu tersenyum dengan tulus.
Ia seperti melihat sisi lain dari Luna. Dua sisi yang berbeda dalam satu tubuh.
Seketika Luna berubah menjadi wanita lembut dengan tatapan teduh dan senyum
yang dapat membuat debar di hatinya. Tapi, ia seperti melihat wajah yang pernah
ia kenal................ Wajah itu,
Wajah itu........
Ya, dia nampak
seperti Julia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar