Sabtu, 20 September 2014

LOVE STORY (#5 Dua Sisi)


               “Kau telat tujuh menit.” Ternyata Edgar sampai lebih dulu. Luna agak kagum dengan ke on-time-an Edgar.
               “Mungkin kau yang datangnya terlalu cepat.” Balas Luna. “Yang kemarin, maaf ya..”
               “Kau terlalu to the point, Lun. Nggak basa-basi dulu, baru juga datang.” Edgar tersenyum. “Sini duduk, aku nggak gigit kok.”
               “Kalau kau berani menggigitku, akan ku patahkan kakimu yang satu lagi.” Canda Luna sambil mengambil posisi tepat disamping Edgar. Angin di taman kampus berhembus agak kencang. Luna bolak balik membetulkan rambutnya yang tersibak oleh angin nakal itu.
               “Apa yang membuat gadis sejutek kau minta maaf? Bukan karena Tante yang memaksamu, kan?
               “Tentu, bukan. Aku meminta maaf padamu agar di lain waktu aku bisa menarik kakimu untuk kedua kalinya.”
 “Kau benar-benar jahat, Lun” tawa Edgar. “Ngomong-ngomong, kenapa kau begitu marah saat aku ,mencoba untuk naik ke rumah pohon itu? Kamu merakit boom?”
“Di dalam rumah pohon itu, aku menyimpan mayat. Mayat untuk orang yang dengan seenaknya naik keatas tanpa izinku.” Sindir Luna.
“Aku harap kau tidak serius dengan perkataan barusan.”
“Tentu tidak, Ed! Hahaha.”
Hati Edgar terasa hangat saat Luna menyebut namanya dalam tawa. Sebelumnya belum pernah gadis itu mengucap namanya. “Terus, kenapa kau begitu menahanku?”
               “Aku belum percaya diri menunjukkan lukisan-lukisanku pada siapapun, kecuali Mama.”
               “Kenapa?”
               “Entahlah...”
Suasana hening. Hanya suara gemerisik daun kering yang jatuh lalu tertiup angin. Seolah membisu.
               “Kalau begitu, sebelum kau tunjukan ke orang lain. Kau bisa menyuruhku untuk meliht lukisanmu.”
               “Kau yakin?”
               “Asal kau tidak menarik kakiku hingga jatuh. Ayo berangkat!” Edgar beranjak dari tempat duduknya, diikuti Luna.

                                                                                000
               “Whoa! Ini luar biasa!!” Edgar ternganga-nganga melihat lukisan Luna yang begitu banyak di dalam rumah pohon Luna.
               “Selamat datang di istanaku.” Sambut Luna ramah
Aroma cat air langsung menyergap hidung Edgar saat langkah pertama memasuki rumah pohon Luna. Edgar memandangi satu persatu lukisan itu dari yang paling pojok, tengah, hingga sudut-sudut. Mengagumi betapa indahnya karya gadis itu. Entah kekurang percaya diri dari mana hingga ia takut untuk mempublikasi lukisannya, dengan karya ini, Luna bisa jadi pelukis terkenal. “Butuh berapa lama kau mengerjakan lukisan-lukisan ini?
               “Hm... tidak tentu. Tapi setiap satu hari, biasanya aku bisa melukis sebanyak dua atau lima lukisan.”
Edgar mengangguk, seperti peneliti lukisan profesional. Matanya masih sibuk mengitari ruangan itu. Teryata Luna sejak kecil memang sudah gemar melukis, Edgar tersenyum melihat foto gadis itu dengan kuas dan kanvas, kira-kira umurnya enam tahun. Lukisan-lukisan Luna kecil juga masih dipajang. Tapi yang paling menarik perhatian Edgar adalah lukisan lelaki dengan kumisnya, gadis berpita merah, dan wanita berbaju cokelat. Terdapat tulisan kecil disana, Ilove you, Dad. I love you, Mom. –Luna Prisila. Edgar tersenyum simpul, pasti Luna memiliki keluarga yang bahagia, pikir Edgar. “Sayang sekali lukisan-lukisan ini hanya ditumpuk. Pasti mereka sedih.”
Luna mengetahui maksud Edgar, pasti untuk mempublikasi karya-karyanya. Tapi ia memilih untuk diam.
               “Pemandangan disini cukup indah. Wah, ternyata di ujung sana ada danau, ya?” pandangan mata Edgar teralih melihat objek cantik yang dapat dijangkau dari jendela rumah pohon Luna. “Kau pernah kesana?”
Luna mengangguk. “Ya. Tapi dulu. Sekarang danau tak sebersih dulu, sudah banyak sampah dan airnya cukup keruh.”
               “Kalau begitu, ceritakan padaku tentang hidupmu, agar aku tidak mengira kau adalah psikopat yang sedang kambuh saat menarik kakiku.” Canda Edgar sambil mencari posisi duduk yang nyaman. Mungkin di jendela yang mengarah ke danau adalah tempat paling nyaman menurutnya.
               “Kau sangat menyebalkan.” Luna terduduk di pintu dekat tangga rumah pohonnya. Ia mengayun-ayunkan kakinya hingga angin terasa seperti sedang menggelitik. “Kau dulu.”
               “Aku?”
Luna membalas dengan anggukan.
               “Aku... seorang lelaki seperti kebanyakan. Namun ada satu yang membedakan aku dengan lelaki lain.” Edgar terdiam sesaat. “Aku sedikit lebih tampan dari mereka.”
Luna merasa ingin mencubit Edgar hingga membekas biru keunguan. Tapi entah kenapa lelucon-lelucon Edgar selalu berhasil melukiskan senyum di bibirnya.
               “Selain tampan, aku adalah kapten basket di kampus. Kau tau? Seluruh wanita di kampus selalu berteriak jika aku sedang mendribel bola!” Edgar nampak menggebu-gebu. “Teriakannya seperti ini, ‘Aaa! Edgar! Edgar! Semangat Edgar! Aaa!’ lalu kau tau apa yang mereka lakukan selanjutnya?! Kalau aku berhasil mencetak three points dengan mulus, wuih.. Mereka menari-nari sambil menggoyang-goyangkan pom-pomnya. Apalagi Jenni dan Gita, mereka paling bersemangat dan, um... menurutku cukup cantik untuk ukuran junior tingkat pertama, tapi roknya terlalu mini”
Luna melongo. Menyaksikan Edgar yang tanpa sadar sudah berubah dari posisi duduknya yang nyaman menjadi berdiri sambil memeragakan tiap cerita yang diucapkan sambil mengebu-gebu. “Kau kehabisan obat?” delik Luna sambil menawan tawa yang hampir meledak setelah melihat Edgar yang nampak malu-malu setelah dirinya menyadari bahwa posisinya telah berubah karena terlalu bersemangat. Edgar agak dongkol dengan candaan Luna barusan, kesan pertama yang ingin dirinya tampilkan harusnya menjadi lelaki cool, sekarang semuannya gagal.
               “Sekarang giliranmu.” Edgar mencoba mengalihkan pembicaraan.
Luna mencoba menahan tawanya. Sempat Edgar melirik senyuman Luna yang menurutnya agak menyebalkan itu. Namun Luna menggeleng.
               “Kalau kau nggak mau, berarti aku yang bertanya dan kau yang menjawab. Biar adil.”
               “Okeee.” Jawab Luna malas-malas.
               “Apa hobi-mu selain melukis?”
               “Hm...” Luna berpikir sejenak. “Tidak ada. Melukis adalah hobiku satu-satunya.”
               “Kalau begitu, kenapa kau tidak ingin hasil lukisanmu di publikasi? Hasil karyamu akan sia-sia, kan?”
               “Aku melukis bukan untuk dilihat orang. Aku melukis untuk diriku. Hanya untuk diriku, tidak lebih.”
               “Kau bisa jadi pelukis terkenal,   Lun.”
               “Aku tidak mau jadi terkenal. Aku mau jadi gadis biasa saja.”
               “Aku bisa membantumu dikenal orang dengan lukisanmu ini.” Ucap Edgar. “Kebetulan aku mahasiswa jurusan jurnalistik tingkat akhir. Aku suka meliput hal-hal yang menarik. Dan lukisanmu bisa menjadi bahan liputanku di lain hari. Bagaimana?”
Luna tetap menggeleng. Sepertinya tidak tergoda sama sekali dengan tawaran Edgar. Sambil mengehela napas panjang, Edgar  mencoba memaklumi sikap keras kepala yang dimiliki Luna.
               “Mengapa kau begitu misterius?” tanya Edgar.
               “Aku tidak misterius, aku hanya sedikit lebih pendiam dari pada kamu, Edgar.”
               “Kekasihmu pasti bingung setengah mati dengan sikapmu itu.”
               “Aku tidak punya kekasih.”
Edgar mengerutkan dahinya, “Tidak ada?”
               “Lebih tepatnya, belum pernah memiliki kekasih.”
               “Belum pernah?!” Edgar makin mengerutkan dahinya. Kemudian mencoba mengingat berapa puluh perempuan yang sempat singgah di hatinya. Namun ada rasa bahagia yang muncul di hatinya saat mendengar pengakuan Luna barusan. Berarti tidak ada hambatan, jalan terus, bro!
               “Bahkan di ruang sekecil ini kau tidak bisa mendengar suaraku? Perlu kuulang berapa kali lagi?” dengus Luna kesal.
               “Kau tidak memiliki kekasih bukan karena menyukai sesama jenis kan?” canda Edgar dengan intonasi yang membuat Luna dongkol.
               “Karena aku tidak sepertimu, yang dengan mudah memacari wanita cantik di kampus.”
Luna berani bersumpah untuk tidak melupakan ekspresi Edgar setelah mendengar jawaban nya barusan. Raut wajah Edgar berubah menjadi tak karuan. Agak grogi, ingin menjawab namun tak jadi, dan malu-malu.
               “Kenapa diam?” tekan Luna. “Tasya, Gina, dan Olive adalah teman satu kelasku yang adalah mantanmu. Iya kan?” ternyata Luna telah mengetahui sikap playboy Edgar yang hobi mengencani junior-junior cantik di kampusnya. Dan kebetulan tiga temannya itu bernasib buruk, mau saja dijadikan pacar sementara Edgar. “Setelah putus dengan mereka, wanita cantik dan seksi mana lagi yang kau jadikan permainan?”
               “Kau membuatku mati rasa, Lun.” Jawab Edgar bete. “Itu sudah berlalu setengah bulan yang lalu, kan.”
               “Well, kau mengaku juga kan. Hahahaha” Luna merasa menang. Seperti seorang detektif yang berhasil memecahkan kasus tersulit. “Wanita itu ibarat boneka. Bisa kau mainkan sesuka hatimu. Tapi kau harus ingat.” Luna memegang pundak Edgar hingga Edgar menatap matanya sambil mengatakan, “Lelaki sejati tidak pernah main boneka.” Kemudian tersenyum.
Seperti terkena sihir, Edgar bisa melihat wajah Luna dari dekat sampai membuatnya membeku dalam beberapa detik sampai Luna kembali ke posisinya. Kalimat yang bijak dengan suara lembut. Tidak seperti biasanya yang terdengar dingin dan jutek. Namun yang membuat hatinya terasa hangat adalah, Luna tersenyum. Baru kali itu ia melihat gadis misterius itu tersenyum dengan tulus. Ia seperti melihat sisi lain dari Luna. Dua sisi yang berbeda dalam satu tubuh. Seketika Luna berubah menjadi wanita lembut dengan tatapan teduh dan senyum yang dapat membuat debar di hatinya. Tapi, ia seperti melihat wajah yang pernah ia kenal................  Wajah itu,
Wajah itu........

 Ya, dia nampak seperti Julia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar