Selasa, 16 September 2014

LOVE STORY (#1 Introducing)

Luna

            Namaku Luna, tidak seperti gadis biasanya, aku lebih senang mengurung diri di ruangan penuh warna ini. Semacam istanaku. Disinilah aku menghabiskan waktu. Melukis apa saja yang tertangkap dalam mata dan membiarkan tangan dengan kuas bernomor delapan itu seolah menari-nari diatas kertas Winsor Newton tipe Cotman miliknya. Melukis adalah segalanya bagiku. Selalu ada hal yang memaksaku untuk bertatapan dengan kertas putih ini dan pantang untuk meninggalkannya tanpa satu goresan warna hingga tanpa sadar kertas tersebut telah hidup dan bernilai.
            “Luna, kamu nggak berangkat kuliah?”
Suara melengking Mama yang setengan teriak sangat mampu menjangkau istanaku. Kenapa musti teriak,sih! Aku membatin. “Iya Ma, Luna turun.”. Aku menaruh kanvas dan kuas di kaleng-kaleng bekas yang kuhias menjadi kaleng lucu bergambar matahari. Aku menutup pintu kayu itu dan menutuni tangga kayu yang sudah agak reyot hingga bunyi ‘ngik ngik’ terdengar cukup ribut. Istanaku harus segera di renovasi agar lebih nyaman walaupun aku memang selalu merasa nyaman berada disana.
            “Kamu tuh suka lupa waktu deh kalau sudah disana.” Mama mengelap meja di teras rumah sampai ke sudut-sudutnya hingga aku bisa berkaca disana.
            “Keasyikan, Ma.”
            “Tapi inget waktu dong.” Timpal Mama sambil menyemprotkan cairan pembersih kaca. “Kalau kamu suka melukis, kenapa gak buat pameran lukis sih? Lukisanmu terlalu banyak Luna, bisa bisa rumah kita penuh sama lukisanmu.”
            “Belum percaya diri,Ma. Lukisanku gak ada apa-apanya dibanding lukisan orang.”
            “Setelah 21 tahun melukis dan kamu bilang belum percaya diri? Terus tunggu berapa tahun lagi? Atau berapa abad lagi, Lun? Keburu mati kamu.”
            “Mama!”
            “Habisnya kamu susah dibilangin.
Aku mendengus kesal. “Ya sudah, aku mau berangkat dulu.”
            “Sendirian?”
Mataku beradu dengan mama sambil menaikkan satu alisku seolah berkata ‘memang biasanya sama siapa?’
            “Punya pacar dong, masa anak mama yang cantik ini gak pernah dijemput pacarnya. Eh, minimal jalan sama cowok deh.” Mama mulai menggurau. Aku makin dongkol.
            “Dadah Mama, Luna berangkat ya!” Aku menarik tangan Mama yang sedang memegang kain lap untuk salim dan mengambil beberapa tas yang membuatku agak repot. 
            “Waduh, pelan-pelan dong. Oh iya salam sama pacarmu ya!!”

                                                            000

Edgar
            Aku berkaca sekali lagi. Ternyata memang tampan. Ya, kau sangat tampan. Siapa wanita yang tak tergila-gila denganmu, Ed? Puji syukurku pada Tuhan telah memberiku wajah setara Brad Pitt. Kataku dalam hati.
Memperkenalkan, kapten basket di kampus yang selalu jadi pusat perhatian wanita di lapangan, namaku Edgar, bernomor punggung 09, tinggi 184, dan ganteng. Harus kuakui, penulis yang sedang menulisku saat ini mungkin sudah mulai jatuh hati padaku. Menjadi tampan memang susah susah gampang. Kau harus mau berfoto dengan wanita-wanita genit yang kalau berteriak, gendang telingamu mungkin mengalami sedikit kerusakan. Kesusahan lainnya adalah, kau susah untuk memacari beberapa wanita cantik di kampus tanpa ketahuan.
            “Pagi, Edgar..” senyum Prita, wanita seksi dari Fakultas Hukum yang menjadi mantan pacarku ke-18. Melihat Prita menggunakan rok seperti itu membuat dribelan bola basketku tidak beraturan. Ah.. Prita.
            Aku sendiri memilih jurusan Jurnalistik. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang harusnya sedang berpesta merayakan kelulusan, aku masih tertinggal. Kalau aku bilang basket adalah penghambat kelulusanku, sebenarnya tidak juga. Basket telah membawaku meraih beasiswa karena prestasi di bidang olahraga ini sudah kuraih tingkat nasional. Ah, biar sajalah, ada yang bilang padaku lulus jangan tepat waktu tapi luluslah di waktu yang tepat. Dan mungkin tahun ini belum waktunya aku lulus. Dengan santai, terus ku dribel bola basket di tanganku.
Bzzz~ Bzzz~ Getaran yang bersumber dari handphone membuatku agak kaget, lalu kulemparkan bola basket itu kearah ring dan melihat siapa yang menelepon. Ternyata, Nadia. Pacarku ke 23 dan baru berpacaran selama dua bulan namun cerewetnya bukan main. Selalu minta dikabari dan cengeng. Repot!
“Iya sayang, aku lagi...”
“Kenapa gak pernah angkat telepon sih? Katanya mau telfon habis jam makan siang! Sekarang sudah jam dua lewat lima menit dan kamu masih belum nelfon. Aku nungguin tau! Kamu pikir enak apa nunggu kabar dari kamu? Kenapa sih gak pernah inisiatif buat kasih kabar? Kamu kan....” belum sempat satu kalimat kuselesaikan, suara diujung telepon sana langsung meleber.
“Sa..sayang..tapi..”
“Kamu mau cari alasan kan? Iya kan? Aku tau kamu pasti punya simpanan kan? Jujur sama aku, jangan kamu kira aku gak tau ya kalo kamu..”
Aku hanya bisa pasrah mendengar omelan demi omelan wanita rewel diujung telepon sana. Sudah kebal rasanya dimarahi seperti ini, semua wanita memang rewel, selalu minta dikabari, padahal tadi pagi sudah ketemu. Heran.
            “ADUH!”
Aku terhentak mendengar suara setengah teriak yang sepertinya wanita disekitarnya. “Sayang nanti aku telfon ya, dadah, love you!” Dengan segera kututup telfon dari si wanita rewel itu dan mencoba mencari sumber suara ‘aduh’ tersebut. Dan benar saja, suara itu berasal dari wanita disamping ring. Kupikir bola basket yang kulempar sudah mencetak three point cantik, ternyata meleset.
            “Maaf, maaf ya maaf.” Ucapku dengan setengah berlari mendekat kearah wanita yang menenteng tas cukup banyak.
            “Andai saja ucapan maafmu bisa menghilangkan rasa nyeri di bahuku.” Jawab wanita itu ketus sambil memegangi bahu di bagian kirinya.
            “Semoga saja bisa. Maaf maaf maaf maaf maaf maaf maaf maaf ma...”
Wanita itu mengambil bola basket di samping kakinya dan menubrukkan ke bahuku dengan kencang hingga aku mundur selangkah.
            “Gantian!!” ucapnya ketus sambil berlalu.

Siapa dia?

                                                                        000

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar