Luna
Namaku Luna, tidak
seperti gadis biasanya, aku lebih senang mengurung diri di ruangan penuh warna
ini. Semacam istanaku. Disinilah aku menghabiskan waktu. Melukis apa saja yang
tertangkap dalam mata dan membiarkan tangan dengan kuas bernomor delapan itu
seolah menari-nari diatas kertas Winsor Newton tipe Cotman miliknya. Melukis adalah segalanya bagiku. Selalu ada hal yang
memaksaku untuk bertatapan dengan kertas putih ini dan pantang untuk
meninggalkannya tanpa satu goresan warna hingga tanpa sadar kertas tersebut
telah hidup dan bernilai.
“Luna,
kamu nggak berangkat kuliah?”
Suara melengking Mama yang setengan teriak sangat
mampu menjangkau istanaku. Kenapa musti teriak,sih! Aku membatin. “Iya Ma,
Luna turun.”. Aku menaruh kanvas dan kuas di kaleng-kaleng bekas yang kuhias
menjadi kaleng lucu bergambar matahari. Aku menutup pintu kayu itu dan menutuni
tangga kayu yang sudah agak reyot hingga bunyi ‘ngik ngik’ terdengar
cukup ribut. Istanaku harus segera di renovasi agar lebih nyaman walaupun aku memang
selalu merasa nyaman berada disana.
“Kamu
tuh suka lupa waktu deh kalau sudah disana.” Mama mengelap meja di teras rumah
sampai ke sudut-sudutnya hingga aku bisa berkaca disana.
“Keasyikan,
Ma.”
“Tapi
inget waktu dong.” Timpal Mama sambil menyemprotkan cairan pembersih kaca. “Kalau
kamu suka melukis, kenapa gak buat pameran lukis sih? Lukisanmu terlalu banyak
Luna, bisa bisa rumah kita penuh sama lukisanmu.”
“Belum
percaya diri,Ma. Lukisanku gak ada apa-apanya dibanding lukisan orang.”
“Setelah
21 tahun melukis dan kamu bilang belum percaya diri? Terus tunggu berapa tahun
lagi? Atau berapa abad lagi, Lun? Keburu mati kamu.”
“Mama!”
“Habisnya
kamu susah dibilangin.
Aku mendengus kesal. “Ya sudah, aku mau berangkat
dulu.”
“Sendirian?”
Mataku beradu dengan mama sambil menaikkan satu
alisku seolah berkata ‘memang biasanya sama siapa?’
“Punya
pacar dong, masa anak mama yang cantik ini gak pernah dijemput pacarnya. Eh,
minimal jalan sama cowok deh.” Mama mulai menggurau. Aku makin dongkol.
“Dadah
Mama, Luna berangkat ya!” Aku menarik tangan Mama yang sedang memegang kain lap
untuk salim dan mengambil beberapa tas yang membuatku agak repot.
“Waduh,
pelan-pelan dong. Oh iya salam sama pacarmu ya!!”
000
Edgar
Aku
berkaca sekali lagi. Ternyata memang tampan. Ya, kau sangat tampan. Siapa wanita
yang tak tergila-gila denganmu, Ed? Puji syukurku pada Tuhan telah memberiku
wajah setara Brad Pitt. Kataku dalam hati.
Memperkenalkan, kapten
basket di kampus yang selalu jadi pusat perhatian wanita di lapangan,
namaku Edgar, bernomor punggung 09, tinggi 184, dan ganteng. Harus kuakui,
penulis yang sedang menulisku saat ini mungkin sudah mulai jatuh hati padaku.
Menjadi tampan memang susah susah gampang. Kau harus mau berfoto dengan
wanita-wanita genit yang kalau berteriak, gendang telingamu mungkin mengalami
sedikit kerusakan. Kesusahan lainnya adalah, kau susah untuk memacari beberapa wanita
cantik di kampus tanpa ketahuan.
“Pagi,
Edgar..” senyum Prita, wanita seksi dari Fakultas Hukum yang menjadi mantan
pacarku ke-18. Melihat Prita menggunakan rok seperti itu membuat dribelan bola
basketku tidak beraturan. Ah.. Prita.
Aku
sendiri memilih jurusan Jurnalistik. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang
harusnya sedang berpesta merayakan kelulusan, aku masih tertinggal. Kalau aku
bilang basket adalah penghambat kelulusanku, sebenarnya tidak juga. Basket telah
membawaku meraih beasiswa karena prestasi di bidang olahraga ini sudah kuraih
tingkat nasional. Ah, biar sajalah, ada yang bilang padaku lulus jangan tepat
waktu tapi luluslah di waktu yang tepat. Dan mungkin tahun ini belum waktunya
aku lulus. Dengan santai, terus ku dribel bola basket di tanganku.
Bzzz~ Bzzz~ Getaran yang bersumber dari
handphone membuatku agak kaget, lalu kulemparkan bola basket itu kearah ring
dan melihat siapa yang menelepon. Ternyata, Nadia. Pacarku ke 23 dan baru
berpacaran selama dua bulan namun cerewetnya bukan main. Selalu minta dikabari
dan cengeng. Repot!
“Iya sayang, aku lagi...”
“Kenapa gak pernah angkat
telepon sih? Katanya mau telfon habis jam makan siang! Sekarang sudah jam dua
lewat lima menit dan kamu masih belum nelfon. Aku nungguin tau! Kamu pikir enak
apa nunggu kabar dari kamu? Kenapa sih gak pernah inisiatif buat kasih kabar? Kamu
kan....” belum sempat satu kalimat kuselesaikan, suara diujung telepon sana langsung meleber.
“Sa..sayang..tapi..”
“Kamu mau cari alasan kan?
Iya kan? Aku tau kamu pasti punya simpanan kan? Jujur sama aku, jangan kamu
kira aku gak tau ya kalo kamu..”
Aku hanya bisa pasrah mendengar omelan demi omelan
wanita rewel diujung telepon sana. Sudah kebal rasanya dimarahi seperti ini,
semua wanita memang rewel, selalu minta dikabari, padahal tadi pagi sudah
ketemu. Heran.
“ADUH!”
Aku terhentak mendengar suara setengah teriak yang
sepertinya wanita disekitarnya. “Sayang nanti aku telfon ya, dadah, love you!”
Dengan segera kututup telfon dari si wanita rewel itu dan mencoba mencari
sumber suara ‘aduh’ tersebut. Dan benar saja, suara itu berasal dari wanita
disamping ring. Kupikir bola basket yang kulempar sudah mencetak three point
cantik, ternyata meleset.
“Maaf,
maaf ya maaf.” Ucapku dengan setengah berlari mendekat kearah wanita yang
menenteng tas cukup banyak.
“Andai
saja ucapan maafmu bisa menghilangkan rasa nyeri di bahuku.” Jawab wanita itu
ketus sambil memegangi bahu di bagian kirinya.
“Semoga
saja bisa. Maaf maaf maaf maaf maaf maaf maaf maaf ma...”
Wanita itu mengambil bola basket di samping kakinya
dan menubrukkan ke bahuku dengan kencang hingga aku mundur selangkah.
“Gantian!!”
ucapnya ketus sambil berlalu.
Siapa dia?
000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar