Sabtu, 20 September 2014

LOVE STORY (#5 Dua Sisi)


               “Kau telat tujuh menit.” Ternyata Edgar sampai lebih dulu. Luna agak kagum dengan ke on-time-an Edgar.
               “Mungkin kau yang datangnya terlalu cepat.” Balas Luna. “Yang kemarin, maaf ya..”
               “Kau terlalu to the point, Lun. Nggak basa-basi dulu, baru juga datang.” Edgar tersenyum. “Sini duduk, aku nggak gigit kok.”
               “Kalau kau berani menggigitku, akan ku patahkan kakimu yang satu lagi.” Canda Luna sambil mengambil posisi tepat disamping Edgar. Angin di taman kampus berhembus agak kencang. Luna bolak balik membetulkan rambutnya yang tersibak oleh angin nakal itu.
               “Apa yang membuat gadis sejutek kau minta maaf? Bukan karena Tante yang memaksamu, kan?
               “Tentu, bukan. Aku meminta maaf padamu agar di lain waktu aku bisa menarik kakimu untuk kedua kalinya.”
 “Kau benar-benar jahat, Lun” tawa Edgar. “Ngomong-ngomong, kenapa kau begitu marah saat aku ,mencoba untuk naik ke rumah pohon itu? Kamu merakit boom?”
“Di dalam rumah pohon itu, aku menyimpan mayat. Mayat untuk orang yang dengan seenaknya naik keatas tanpa izinku.” Sindir Luna.
“Aku harap kau tidak serius dengan perkataan barusan.”
“Tentu tidak, Ed! Hahaha.”
Hati Edgar terasa hangat saat Luna menyebut namanya dalam tawa. Sebelumnya belum pernah gadis itu mengucap namanya. “Terus, kenapa kau begitu menahanku?”
               “Aku belum percaya diri menunjukkan lukisan-lukisanku pada siapapun, kecuali Mama.”
               “Kenapa?”
               “Entahlah...”
Suasana hening. Hanya suara gemerisik daun kering yang jatuh lalu tertiup angin. Seolah membisu.
               “Kalau begitu, sebelum kau tunjukan ke orang lain. Kau bisa menyuruhku untuk meliht lukisanmu.”
               “Kau yakin?”
               “Asal kau tidak menarik kakiku hingga jatuh. Ayo berangkat!” Edgar beranjak dari tempat duduknya, diikuti Luna.

                                                                                000
               “Whoa! Ini luar biasa!!” Edgar ternganga-nganga melihat lukisan Luna yang begitu banyak di dalam rumah pohon Luna.
               “Selamat datang di istanaku.” Sambut Luna ramah
Aroma cat air langsung menyergap hidung Edgar saat langkah pertama memasuki rumah pohon Luna. Edgar memandangi satu persatu lukisan itu dari yang paling pojok, tengah, hingga sudut-sudut. Mengagumi betapa indahnya karya gadis itu. Entah kekurang percaya diri dari mana hingga ia takut untuk mempublikasi lukisannya, dengan karya ini, Luna bisa jadi pelukis terkenal. “Butuh berapa lama kau mengerjakan lukisan-lukisan ini?
               “Hm... tidak tentu. Tapi setiap satu hari, biasanya aku bisa melukis sebanyak dua atau lima lukisan.”
Edgar mengangguk, seperti peneliti lukisan profesional. Matanya masih sibuk mengitari ruangan itu. Teryata Luna sejak kecil memang sudah gemar melukis, Edgar tersenyum melihat foto gadis itu dengan kuas dan kanvas, kira-kira umurnya enam tahun. Lukisan-lukisan Luna kecil juga masih dipajang. Tapi yang paling menarik perhatian Edgar adalah lukisan lelaki dengan kumisnya, gadis berpita merah, dan wanita berbaju cokelat. Terdapat tulisan kecil disana, Ilove you, Dad. I love you, Mom. –Luna Prisila. Edgar tersenyum simpul, pasti Luna memiliki keluarga yang bahagia, pikir Edgar. “Sayang sekali lukisan-lukisan ini hanya ditumpuk. Pasti mereka sedih.”
Luna mengetahui maksud Edgar, pasti untuk mempublikasi karya-karyanya. Tapi ia memilih untuk diam.
               “Pemandangan disini cukup indah. Wah, ternyata di ujung sana ada danau, ya?” pandangan mata Edgar teralih melihat objek cantik yang dapat dijangkau dari jendela rumah pohon Luna. “Kau pernah kesana?”
Luna mengangguk. “Ya. Tapi dulu. Sekarang danau tak sebersih dulu, sudah banyak sampah dan airnya cukup keruh.”
               “Kalau begitu, ceritakan padaku tentang hidupmu, agar aku tidak mengira kau adalah psikopat yang sedang kambuh saat menarik kakiku.” Canda Edgar sambil mencari posisi duduk yang nyaman. Mungkin di jendela yang mengarah ke danau adalah tempat paling nyaman menurutnya.
               “Kau sangat menyebalkan.” Luna terduduk di pintu dekat tangga rumah pohonnya. Ia mengayun-ayunkan kakinya hingga angin terasa seperti sedang menggelitik. “Kau dulu.”
               “Aku?”
Luna membalas dengan anggukan.
               “Aku... seorang lelaki seperti kebanyakan. Namun ada satu yang membedakan aku dengan lelaki lain.” Edgar terdiam sesaat. “Aku sedikit lebih tampan dari mereka.”
Luna merasa ingin mencubit Edgar hingga membekas biru keunguan. Tapi entah kenapa lelucon-lelucon Edgar selalu berhasil melukiskan senyum di bibirnya.
               “Selain tampan, aku adalah kapten basket di kampus. Kau tau? Seluruh wanita di kampus selalu berteriak jika aku sedang mendribel bola!” Edgar nampak menggebu-gebu. “Teriakannya seperti ini, ‘Aaa! Edgar! Edgar! Semangat Edgar! Aaa!’ lalu kau tau apa yang mereka lakukan selanjutnya?! Kalau aku berhasil mencetak three points dengan mulus, wuih.. Mereka menari-nari sambil menggoyang-goyangkan pom-pomnya. Apalagi Jenni dan Gita, mereka paling bersemangat dan, um... menurutku cukup cantik untuk ukuran junior tingkat pertama, tapi roknya terlalu mini”
Luna melongo. Menyaksikan Edgar yang tanpa sadar sudah berubah dari posisi duduknya yang nyaman menjadi berdiri sambil memeragakan tiap cerita yang diucapkan sambil mengebu-gebu. “Kau kehabisan obat?” delik Luna sambil menawan tawa yang hampir meledak setelah melihat Edgar yang nampak malu-malu setelah dirinya menyadari bahwa posisinya telah berubah karena terlalu bersemangat. Edgar agak dongkol dengan candaan Luna barusan, kesan pertama yang ingin dirinya tampilkan harusnya menjadi lelaki cool, sekarang semuannya gagal.
               “Sekarang giliranmu.” Edgar mencoba mengalihkan pembicaraan.
Luna mencoba menahan tawanya. Sempat Edgar melirik senyuman Luna yang menurutnya agak menyebalkan itu. Namun Luna menggeleng.
               “Kalau kau nggak mau, berarti aku yang bertanya dan kau yang menjawab. Biar adil.”
               “Okeee.” Jawab Luna malas-malas.
               “Apa hobi-mu selain melukis?”
               “Hm...” Luna berpikir sejenak. “Tidak ada. Melukis adalah hobiku satu-satunya.”
               “Kalau begitu, kenapa kau tidak ingin hasil lukisanmu di publikasi? Hasil karyamu akan sia-sia, kan?”
               “Aku melukis bukan untuk dilihat orang. Aku melukis untuk diriku. Hanya untuk diriku, tidak lebih.”
               “Kau bisa jadi pelukis terkenal,   Lun.”
               “Aku tidak mau jadi terkenal. Aku mau jadi gadis biasa saja.”
               “Aku bisa membantumu dikenal orang dengan lukisanmu ini.” Ucap Edgar. “Kebetulan aku mahasiswa jurusan jurnalistik tingkat akhir. Aku suka meliput hal-hal yang menarik. Dan lukisanmu bisa menjadi bahan liputanku di lain hari. Bagaimana?”
Luna tetap menggeleng. Sepertinya tidak tergoda sama sekali dengan tawaran Edgar. Sambil mengehela napas panjang, Edgar  mencoba memaklumi sikap keras kepala yang dimiliki Luna.
               “Mengapa kau begitu misterius?” tanya Edgar.
               “Aku tidak misterius, aku hanya sedikit lebih pendiam dari pada kamu, Edgar.”
               “Kekasihmu pasti bingung setengah mati dengan sikapmu itu.”
               “Aku tidak punya kekasih.”
Edgar mengerutkan dahinya, “Tidak ada?”
               “Lebih tepatnya, belum pernah memiliki kekasih.”
               “Belum pernah?!” Edgar makin mengerutkan dahinya. Kemudian mencoba mengingat berapa puluh perempuan yang sempat singgah di hatinya. Namun ada rasa bahagia yang muncul di hatinya saat mendengar pengakuan Luna barusan. Berarti tidak ada hambatan, jalan terus, bro!
               “Bahkan di ruang sekecil ini kau tidak bisa mendengar suaraku? Perlu kuulang berapa kali lagi?” dengus Luna kesal.
               “Kau tidak memiliki kekasih bukan karena menyukai sesama jenis kan?” canda Edgar dengan intonasi yang membuat Luna dongkol.
               “Karena aku tidak sepertimu, yang dengan mudah memacari wanita cantik di kampus.”
Luna berani bersumpah untuk tidak melupakan ekspresi Edgar setelah mendengar jawaban nya barusan. Raut wajah Edgar berubah menjadi tak karuan. Agak grogi, ingin menjawab namun tak jadi, dan malu-malu.
               “Kenapa diam?” tekan Luna. “Tasya, Gina, dan Olive adalah teman satu kelasku yang adalah mantanmu. Iya kan?” ternyata Luna telah mengetahui sikap playboy Edgar yang hobi mengencani junior-junior cantik di kampusnya. Dan kebetulan tiga temannya itu bernasib buruk, mau saja dijadikan pacar sementara Edgar. “Setelah putus dengan mereka, wanita cantik dan seksi mana lagi yang kau jadikan permainan?”
               “Kau membuatku mati rasa, Lun.” Jawab Edgar bete. “Itu sudah berlalu setengah bulan yang lalu, kan.”
               “Well, kau mengaku juga kan. Hahahaha” Luna merasa menang. Seperti seorang detektif yang berhasil memecahkan kasus tersulit. “Wanita itu ibarat boneka. Bisa kau mainkan sesuka hatimu. Tapi kau harus ingat.” Luna memegang pundak Edgar hingga Edgar menatap matanya sambil mengatakan, “Lelaki sejati tidak pernah main boneka.” Kemudian tersenyum.
Seperti terkena sihir, Edgar bisa melihat wajah Luna dari dekat sampai membuatnya membeku dalam beberapa detik sampai Luna kembali ke posisinya. Kalimat yang bijak dengan suara lembut. Tidak seperti biasanya yang terdengar dingin dan jutek. Namun yang membuat hatinya terasa hangat adalah, Luna tersenyum. Baru kali itu ia melihat gadis misterius itu tersenyum dengan tulus. Ia seperti melihat sisi lain dari Luna. Dua sisi yang berbeda dalam satu tubuh. Seketika Luna berubah menjadi wanita lembut dengan tatapan teduh dan senyum yang dapat membuat debar di hatinya. Tapi, ia seperti melihat wajah yang pernah ia kenal................  Wajah itu,
Wajah itu........

 Ya, dia nampak seperti Julia.

Kamis, 18 September 2014

LOVE STORY (#4 Pesan Singkat)

LOVE STORY (#4 Pesan Singkat)
                                                                           000
               “Kok pulangnya agak telat, Lun?” tanya Mama sambil menyeruput teh di teras saat langkah Luna baru memasuki halaman rumah.
               “Tadi pergi sebentar sama lelaki yang melemparku bola basket.”
               “Kalian jadi pergi?!!”
Luna manyun-manyun sambil melirik Mama. Kalau saja wanita dihadapannya bukan sosok malaikat di hidupnya, mungkin sepatu ini sudah melayang tepat kearahnya.
               “Sini dong cerita!” sontak Mama langsung menghampiri dan agak menarik lenganku untuk sesegera mungkin duduk disampingnya.
               “Ma, aku mau mandi dulu.”
               “Udah nanti saja mandinya, lima menit aja kok! Sini cerita, tadi kamu ngapain aja waktu nge-date?
Kata nge-date membuat Luna kurang nyaman. Menurutnya itu bukan hal yang pantas di sebut dengan dating. Perihal Mamanya yang super rese dan jail ini, mungkin tidak akan Luna mau pergi dengan pria itu.
               “Cuma makan sambil ngobrol-ngobrol aja kok.”
               “Ngobrolin apa? Ngobrolin Mama ya?”
               “Iya, kata Edgar Mama itu cantik banget kayak bidadari.”
               “Yang bener, Lun?! Yaampun bisa saja ya dia. Aduh Mama jadi enggak enak sama kamu.” Luna memperhatikan tingkah centil Mamanya yang seperti ABG-ABG di sinetron tv.
               “Luna mau mandi dulu ya,Maaa. Gerah.”
               “Eeeh, tunggu dulu. Mama kan belum selesai bicara.” Tahan Mama. “Edgarnya mana? Kok gak ada didepan?”
               “Aku pulang sendiri.”
               “Lho? Gak dianterin?”
               “Ogah, ah. Masa baru kenal udah main antar-antar aja.”
               “Kamu kaku banget sih, ajak aja kemari. Lain kali kalau nge-date bawa ke rumah ya. Mama mau liat.”
Lagi-lagi kata nge-date membuat Luna risih. Tapi mood nya sedang malas untuk mengkarifikasi ucapan Mama. Biarlah sehari ini saja Mama senang kalau dirinya habis pergi dengan seorang pria.
                                                                               000
               Edgar menghempaskan tubuhnya ke pembaringan yang dilapisi sprei team kesukaannya, Manchester United. Meregangkan otot tangan dan leher nya, lalu tersenyum-senyum. Tidak seperti biasa saat Edgar habis pergi dengan gadis yang dikencani, ia merasa ada kesenangan tersendiri setelah menikmati dua jam bersama Luna. Mungkin karena Luna yang sedikit bicara, sehingga membuat Edgar merasa gemas dan berjuang untuk mencari topik dimana Luna bisa merespon dengan kata, bukan gumaman. Mata yang teduh dan tenang, membuat Edgar ingin selalu menatap nya tiap detik. Tapi Luna tetaplah Luna, ia selalu buang muka jika mata mereka beradu. Ia meraih handphone di sampingnya dan mencari seseorang dalam kontaknya.
Terimakasih untuk hari ini, kuharap aku bisa menikmati karya-karyamu yang lain,Miss Jutek.
Setelah menekan tombol ‘send’, ia berharap ada balasan dari pesan yang dikirimnya. Tapi sudah lebih dari dua puluh lima menit setelah pesan terkirim, handphone-nya tetap diam. Ia pasrah. Mungkin butuh usaha cukup keras agar bisa membuat gadis itu nyaman. Edgar meletakkan handphone nya dan melangkah ke kamar mandi. Namun, suara‘bzzz~ bzzz~’ terdengar, dan Edgar hafal betul bahwa itu getaran dari handphone-nya. Dilirikn ya sedikit, dan.... LUNA!
Edgar melompat ke kasur dengan sigap lalu membuka pesan yang bertuliskan
Bahkan kau tidak akan melihat secuilpun karyaku selama nama panggilanmu itu membuat moodku rusak.
Edgar tersenyum lebar membaca pesan singkat dari Luna. Gadis ini memang selalu bisa membuatnya gemas. Saat jarinya mengetik balasan pesan untuk Luna, ia berhenti.  Tanpa ragu ia menekan icon telepon berwarna hijau di layar handphone nya. Tut... tut... tut...
            “Halo?”
Jantung Edgar seperti ingin muncrat mendengar suara di ujung telepon sana.
            “I-iya halo” suara Edgar terbata-bata.
            “Ada apa? Kalau tidak terlalu penting akan kututup telepon nya. Kau menggangu waktu santaiku.”
            “Kau memang selalu jutek.” Ucap Edgar. “Terimakasih sudah menghabiskan dua jam lewat tujuh belas menit bersamaku hari ini.”
            “Terimakasih juga telah membuang dua jam  lewat tujuh belas menit waktuku, ditambah satu menit ini.”
            “Jadi aku telah membuang waktumu?”
            “Tentu. Setiap waktuku sangat berharga.”
            “Baiklah, akan kubuat tiap waktumu yang terbuang menjadi lebih berharga. Besok aku tunggu dikampus tepat didepan pohon tua yang kau gambar di sketsamu. Jam tiga sore. Bye bye!”
            “Hey! tunggu du....” Tut... Tut... Tut...
Edgar menutup telepon sambil cekikikan. Suara Luna enak didengar juga ternyata. Lagi-lagi ia merasa gemas dan tak sabar menunggu esok hari. Tak sabar melihat gadis misterius itu bergumam.

                                                                      000

            Luna memandangi handphone nya dengan bingung. Kenapa sih lelaki itu? Luna benar-benar tidak mengerti maksud dan tujuan Edgar. Bahkan ia baru bertemu kemarin lusa, dan sikapnya sudah aneh. Luna jadi agak ngeri. Jangan-jangan Edgar adalah penjahat atau semacamnya? Lain kali ia harus berhati-hati dengan lelaki bertubuh tinggi itu. Meskipun pujian nya tadi sempat membuatnya senang, tapi penjahat pun sanggup untuk memuji. Beruntung Luna menyadari bahwa kebetulan besok tidak ada kelas. Ia tersenyum kecil. Biarkan lelaki aneh itu menunggu disana.
                                                                      000
            Matahari bersinar begitu terang, sudah lebih dua jam Edgar duduk di bawah pohon tua itu. Keringatnya bercucuran. Matanya memperhatikan tiap gadis yang lewat, berharap gadis itu adalah Luna. Tapi, nihil. Luna tidak juga menampakkan batang hidungnya. Edgar sengaja membatalkan jadwal latihan basketnya hari ini, padahal pertandingan tinggal dua minggu lagi. Tak apalah, gadis ini terlanjur menyita perhatiannya.
            “Edgar, kok duduk disitu?” sapa gadis didepannya, itu Giselle. Mantan Edgar setelah Prita dan Helen. Mahasiswi fakultas Ekonomi di kampusnya. “Nunggu siapa?”
            “Nunggu teman.” Jawab Edgar seadanya. Entahlah, Giselle terlihat biasa saja dimatanya, tidak secantik saat dulu berkenalan. Padahal wajahnya cantik lengkap dengan rambut panjang yang terkulai karena hembusan angin sore itu. Mungkin karena ada gadis yang berbeda telah menyentuh relung hatinya sekarang.
            “Mau aku temani?”
            “Tidak usah, sebentar lagi dia datang kok.” Tolak Edgar segera.
            “Kamu makin ganteng aja.”  Tukas Giselle sambil mendekat kearah Edgar.
            “Ups, sorry. Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa lagi” dengan cepat Edgar berdiri dan berlalu. Jelas terlihat raut wajah bete tergambar di wajah Giselle. Biar sajalah.
Ia berjalan memasuki gedung fakultas desain. Ternyata tempatnya cukup nyaman. Banyak karya-karya seni disana. Ia menikmati berbagai macam lukisan, patung, miniatur kapal yang terbuat dari kayu dan lain-lain.
            “Hai, Ed. Tumben main ke fakultas seni.”
Edgar menoleh ke arah sumber suara, ternyata Rio. Teman SMA yang sempat masuk tim basket kampus, namun keluar karena tugas anak DKV yang bertumpuk. “Iya, lagi cari orang.” Ucap Edgar. “Kau kenal Luna?”
Rio berpikir sejenak. “Luna Prisilia?”
Edgar mana tahu siapa nama panjang Luna, tapi mungkin benar. “Iya Luna Prisilia!”
            “Hari ini kelas bukannya gak ada kelas ya? Dosen  tipografi dua lagi ke luar negeri soalnya.”
            “Jadi sekarang dia gak ada kelas?”
Wajah Edgar memurung. Kenapa nggak bilang sih ,batinnya.
            “Butuh banget ketemu sama Luna? Kalo iya bisa kutunjukkan jalan kerumahnya. Kebetulan searah.”
Edgar menatap Ria sambil tersenyum penuh harap. “Butuh banget! Ayo kesana!”

                                                              000

            “Iya sebentar.” Luna setengah berlari kearah pintu rumah yang diketuk dari luar.
            “Hallo, Miss Jutek.”
            “AAAAAAAAAAAAAA!!!!” Luna berteriak sejadinya. Kenapa lelaki aneh itu ada dirumahnya sekarang? Mungkin ia harus telepon polisi secepatnya. Ini benar-benar aneh!
            “Ada apa, Lun?!!” Mama sontak berlari kearah Luna. Teriakan putrinya itu telah menjangkau tiap sudut rumahnya.
            “Ka-kamu.... Ng-ngapain disini...?” suara Luna terbata-bata. Ia sudah tak sanggup mengeluarkan sedikitpun suaranya. Rasanya ingin sesegera mungkin menutup pintu dengan keras hingga wajah lelaki aneh itu tertubruk dan berdarah.
            “Temannya Luna ya? Ayo ayo masuk, jangan sungkan-sungkan!.” Suara Mama terdengar begitu ramah. “Temannya datang kok teriak, bikin minum dong.”
            “Ma... dia itu..”
Luna tidak berani melanjutkan kalimatnya, Mama keburu melotot kearahnya. Sial..
            “Nama saya Edgar tante, teman kampus Luna.” Edgar memperkenalkan dirinya sambil duduk di sofa berwarna krem diikuti Mama Luna.
            “Oh, Edgar yang pernah kasih nomor handphone di cat  acrylic Luna ya? Iya iya, Tante tau tuh!” cerocos Mama. “Ternyata kamu aslinya ganteng dan keren ya.”
            ‘Ah, tante orang pertama yang bilang aku ganteng dan keren.” Edgar berhenti dan menatap mata wanita cantik dengan celemek di tubuhnya itu diselingi senyum jahil. “Biasanya orang bilang aku ganteng dan keren pake banget, Tante!”
Tawa Edgar dan Mama memenuhi ruang tamu, Luna yang sedang membuat sirup jeruk di dapur menggerutu. “Siapapun yang kasih alamatku ke lelaki aneh ini, akan kubunuh!” omelnya dalam hati.
Melihat Luna datang dengan sirup jeruk dan nampan lengkap dengan wajahnya yang terlihat bete, Mama kembali melotot saat Luna melirik kearah Mama seolah menyuruh lelaki itu segera pulang.
            ”Nih, minumannya.” Ucap Luna jutek. Edgar tersenyum ramah. Ia tahu Luna pasti kaget dengan kedatangannya yang sangat tiba-tiba ini. Salahnya, tidak datang ke kampus. Rasakan.
            “Kalau begitu, Tante tinggal dulu ya. Kalian ngobrol-ngobrol aja siapa tahu nyambung, trus...”
            “Maaaaa!” Luna segera memotong kalimat Mama. Sebelum hatinya makin panas. Mama hanya tersenyum manis dan berlalu. “Ngapain kesini?!
            “Main aja, memang dilarang?” jawab Edgar santai sambil meminum sirup di hadapannya. “Em.. sirupnya kemanisan. Kau sengaja membuatku diabetes?”
            “Lebih baik kau pulang.”
Edgar berhenti menyeruput sirupnya, lalu memandangi Luna. “Kau mengusirku?”
            “Menurutmu?” jawab Luna sinis.
Setelah kata terakhir yang Luna ucapkan suasana mendadak hening. Apa Edgar tersinggung dengan perkataannya barusan? Luna merasa tidak enak hati.
            “Baiklah.” Edgar beranjak. “Aku akan pulang.” Lanjutnya sambil mengambil tas ransel biru tua di sofa. Kemudian tersenyum jahil “Tapi setelah aku melihat karyamu yang lain!” Edgar berlari ke halaman rumahnya.
            “Lho? Edgar mau langsung pulang? Baru lima menit bertamu.” Kebetulan Mama sedang menyirami tanaman cantiknya di halaman.
            “Tante,Luna suka gambar kan? Aku mau lihat dong. Habis Luna pelit.”
            “Sudahlah, lebih baik kau pulang!” Luna mulai kesal dengan tingkah laku Edgar.
Mama menunjuk-nunjuk rumah pohon yang berada di sudut kanan halaman rumah dan terletak agak kebelakang.
            “Disana?” pertanyaan Edgar diiringi anggukan kepala Mama. Setengah berlari ia menghampiri rumah pohon berwarna kecoklatan yang agak luas itu.
Luna benci melihat tindakan Edgar yang cekatan itu. Ia tidak mau siapapun melihat hasil karyanya, kecuali Mama. “Hey! Aku belum memperbolehkanmu untuk naik keatas!!”
Seperti tak acuh, Edgar dengan lincah menaiki anak tangga untuk menuju puncak rumah pohon berisi harta karun berwarna itu. Luna berlari sekencangnya dan tiba di bawah rumah pohonnya. Sebentar Edgar menundukkan kepalanya, lalu tersenyum. Luna makin kesal melihat lelaki aneh itu. Di tariknya satu kaki Edgar, dan... bruk!
            “LUNA!!” Teriak Mama dari teras membuat Luna meliriknya sejenak, lalu menatap Edgar yang sedang kesakitan dihadapannya.
            “Sudah aku bilang kan, aku belum memperbolehkan mu naik keatas!”bentak Luna. “Kau tahu sopan santun bertamu tidak?!”
Edgar diam saja, tidak ada jawaban sama sekali.
            “Jangan bertemu denganku. Kau tidak lebiih dari lelaki aneh yang tiba-tiba muncul begitu saja! Ini kali terakhir kita bertemu. Semoga kau bisa menjadi lelaki yang lebih sopan!.”
Edar masih belum menjawab. Sesaat Luna agak khawatir juga kalau-kalau terjadi apa-apa.
            “Bangun, dan lekas pergi.” Ucap Luna agak memelan.
            “Terimakasih. Lelaki aneh sepertiku memang tidak berhak menyukaimu.” Sambil berusaha berdiri, Edgar memandangi Luna. Tidak ada senyum, tidak ada keramahan.
Mama berlari kearah Edgar, “Kamu nggak apa-apa kan? Sini Tante bantu.” Luna tahu betul Mama sangat khawatir, eksprei itu muncul dari wajahnya.
            “Enggak apa-apa, Tante. Edgar pamit pulang dulu ya. Makasih Tante.” Dengan langkah pelan dan agak pincang-pincang Edgar menuju pagar besi hitam di ujung halaman rumah Luna. Diliriknya Mama, lalu tersenyum meski satu tangannya memegangi lutut kirinya.
Luna menghela napas panjang, “Akhirnya pulang juga. Agak ekstrim juga memaka lelaki itu pulang. Masa aku harus tarik satu kakinya biar jatuh baru mau pulang, harusnya kan dia....”
            “Lun.” Mama memotong kalimat Luna dan memandanginya dengan tatapan serius. “Mama kecewa sama kamu. Tidakkah kamu bisa sedikit saja bersikap ramah dengan orang?” Derap langkah Mama dengan cepat meninggalkan Luna sendirian di bawah rumah pohon tempat kejadian jatuhnya Edgar tersebut.

                                                             000
            Luna sibuk mencampur cat air di kanvasnya. Entah kenapa ia belum menemukan paduan warna sesuai keinginannya. Lukisannya pun terlihat lebih acak-acakan, dan tidak beraturan. Konsentrasinya buyar malam itu. Sikap Mama jadi mendadak dingin dan tidak bersahabat. Buktinya malam ini Mama tidak mengajaknya makan bersama, dan kebanyakan diam. Apa dia marah?
Luna mencoba mengingat kesalahan apa yang ia lakukan. Karena ia menarik kaki Edgar dan berhasil membuat lelaki itu jatuh ke tanah? Luna menaruh kuas dan kanvasnya lalu mengelap jemari yang terpoles cat dengan tissue di meja bulat putih, lalu duduk di samping jendela kamarnya dan memejam sambil memutar kembali kejadian tadi sore di otaknya. Ia terbayang wajah Edgar yang terlihat muram saat Luna membentaknya. Lelaki berkaos hitam itu tidak banyak bicara, beda dari sebelumnya yang terkesan ramai. Luna kembali membayangkan detail lelaki itu. Seperti jam tangan dan dua gelang di tangan kanannya, rambut yang sedikit gondrong namun terlihat rapi juga tubuh tinggi yang atletis. “Terimakasih. Lelaki aneh sepertiku memang tidak berhak menyukaimu.” Tiba-tiba suara lelaki tersebut seperti terdengar kembali saat Luna mencoba mengingat kejadian tiap kejadian yang terjadi sore itu. Menyukaiku? Pikirnya. Apa dia menyukaiku? Kenapa dia menyukaiku? Bukankah terlalu cepat menyukai seseorang hanya dalam hitungan hari? Apa yang dia suka dariku? Ah, semua pertanyaan itu seolah datang begitu saja dari otak Luna. Tapi kalau boleh jujur, lelaki itu memang manis. Luna suka mendengar suaranya kalau sedang bicara, terdengar renyah seolah telinga Luna menerima dengan baik kalimat-kalimat yang diucapkan Edgar. Luna mengubah posisi duduknya, kemudian membuka jendela. Semoga hembusan angin malam itu bisa membantu menjawab pertanyaannya. Rumah pohon yang menjadi istananya terlihat dengan jelas dari kamar Luna. Di anak tangga ke tujuh, terlihat agak reyot. Mungkin karena tadi ia menarik kaki Edgar di anak tangga ke tujuh itu. Terbersit rasa bersalah dalam hati Luna. Tapi... Tidak! Tidak! Salah Edgar yang menurutnya terlalu lancang untuk masuk ke istanannya. Luna menggerutu dalam hati. Kemudian diliriknya lagi rumah pohon itu, dipandanginya anak tangga ketujuh yang agak reyot itu. Pasti sakit... bisiknya. Angin malam mulai terasa di kulit Luna, hingga piyamanya agak tersibak. Ia menggigil sebentar, lalu menutup jendela kamarnya. Luna menghembuskan napas dengan berat dan mengambil sesuatu diatas lacinya.
Hey, maafkan atas perlakuanku tadi. Kurahap kakimu masih sanggup kuajak bertemu di taman kampus pukul dua siang. Sampai jumpa.

Luna menekan tombol send dengan beribu kali pertimbangan. Namun, ini yang harus ia lakukan. Mungkin. Ia berjalan pelan menuju kasurnya, dan memakai selimut sampai ke leher. Gadis itu tertidur tanpa menyadari ada seorang lelaki yang tersenyum membaca pesan singkat yang masuk satu menit lalu.

Rabu, 17 September 2014

LOVE STORY (#3 Penasaran)


               Edgar duduk santai sambil menyilangkan satu kakinya ke lutut. Ia mencari-cari seseorang. Kurang lebih sudah satu jam ia menunggu disana. Bolak-balik melihat handphone, menyetel musik, menyapa teman yang lewat, dan sekarang ia sudah berada di titik bosan. Apa gadis itu tidak ada kelas hari ini?  Ia bertanya dalam hati. Kemudian ia meraih kantong celana dan mendapatkan cat acrylic merah yang sudah mau habis dan kering itu. Melihat tulisan ‘Luna’ yang ditempel dengan label putih di badan cat tersebut, entah kekuatan apa yang memaksanya untuk terus menunggui gadis itu. Edgar adalah orang yang benci menunggu. Namun, kali ini seperti terdapat magnet di bawah kursi, seolah menahan untuk beranjak. Gadis itu seperti punya pesona tersendiri. Caranya membalas lemparan bola basket yang menubruk bahunya dengan balas menubrukkan ke tubuh Edgar, tenaga nya yang cukup kuat untuk ukuran seorang gadis, sorot matanya yang tajam. Ah.. baru kali ini ia menemui gadis yang seperti itu. Dan... Tunggu. Ia merasa ada sebuah tangan lewat-lewat tepat didepan wajahnya.
               “Hey? Hey?”
Edgar terbelalak melihat seseorang dihadapannya, ia sampai ternganga. Ternyata daritadi ia melamun.
               “Aneh!” cetus seseorang yang berdiri didepannya dan berlalu begitu saja.
               “Eh! Tunggu!” Edgar mulai mendapatkan kembali kesadarannya. “Lu-Luna!!” Berhasil, gadis itu menghentikan langkahnya dan menoleh kearah Edgar.
               “Jadi benar namamu Luna?” tanya Edgar sambil menghampiri Luna dengan wajah ceria.
               “Tau dari mana?” Luna mengernyitkan dahi, seperti curiga.
               “Dari sini.” Ucap Edgar menunjuk ke arah dadanya sambil senyum-senyum.
               “Aneh!” Luna membuang muka. Laki-laki macam apa yang berdiri di hadapan nya ini. Sungguh aneh.
               “Hahahaha bercanda kali, serius banget.” Tawa Edgar terdengar renyah. “Dari ini nih, waktu kemarin aku gak segaja melempar bola basket dan kena kamu.” Edgar menimang-nimang cat acrylic merah yang sedari tadi dipegangnya.
               “Jadi kamu orang yang bikin tugas ku enggak selesai dan harus dapat nilai C?!”
               “Hah? Yang benar? Aku nggak tau. Maaf maaf” wajah Edgar berubah seperti terjerat rasa bersalah yang amat sangat.
               “Bercanda kali, serius amat!” kemudian Luna tertawa. “Hahaha rasain, emang enak dibalas. Hahahaha”
Cantik sekali....batin Edgar sambil memandangi Luna.
“Apa liat-liat?! Sini cat-ku!” Tawa Luna hilang dengan cepat dan langsung berubah menjadi Luna yang dingin.
“Oh i-iya, nih.”
“Thanks.” Jawab Luna singkat lalu berjalan meninggalkan Edgar yang masih diam di tempatnya.
Edgar masih diam di tempatnya, memandangi gadis yang tidak biasa itu berlalu, hingga punggungnya makin menjauh dan hilang. Luna, gadis dingin yang misterius. Membuatnya penasaran. Semakin penasaran. 

                                                                                          000

Luna berjalan sambil menenteng sketch book dan membawa draft bag. Hari ini hanya satu mata kuliah, jadi ia bisa pulang cepat. Tak sabar menunggu hari libur tiba, jadi dirinya bisa sepuasnya menghabiskan waktu di istana dan bercinta dengan lukisan-lukisannya.
               “Hai, Nona Jutek!”
Suara renyah itu muncul dari belakang Luna dan berhasil membuat Luna terlonjak kaget. “Lho?! Kamu lagi?! Ngapain disini?!”
               “Lho?” Edgar terlihat bingung. “Bukannya kamu yang suruh aku buat datang kesini lagi jam empat sore?”
               “Aku? Nyuruh kamu?” Luna makin bingung. Ia benar-benar tidak mengerti.
Edgar mengangguk semangat. “Kamu SMS aku kamarin malam, ini buktinya.” Edgar mengeluarkan handphone dan mendekatkan benda itu ke mata Luna.
Luna membaca tiap SMS dengan seksama, pasti ini ulah Mama! Bahkan ia tidak tahu kalau ternyata cat  acrylic merah miliknya kemarin sengaja ditulis nomor handphone pria dihadapannya.
               “Nah, sekarang percaya kan?” Edgar merasa menang.
               “Ta.. tapi.. “ Luna berusaha menyanggah bahwa  bukan dirinya yang meng-SMS nomornya, tapi karena ulah jahil si Mama.
               “Karna kamu sudah menyuruhku untuk datang kesini, jadi ayo kita makan cake!” Dengan cepat Edgar menggandeng tangan Luna sambil setengah berlari.
               “Lepaskan!!” Luna menghempaskan tangan Edgar. “Gak harus pegang-pegangan kan? Dasar cowok genit!”
Edgar kembali ternganga dengan sikap Luna barusan. Ia makin penasaran dengan gadis itu. Benar-benar penasaran. Dalam perjalanan menuju parkiran, Edgar dan Luna tidak banyak bercakap-cakap. Edgar seperti wartawan yang tengah mewawancarai seseorang. Namun balasan dari segala pertanyaannya hanya dijawab “Hmm” atau “Iya.”
               “Kita ke Cheese Cake Factory aja ya.” Tanya Edgar sambil menyalakan mesin mobilnya.
               “Hmmm.”
Hmmm. Jawaban yang sudah Edgar duga.

                                                                           000

               Suasana Cheese Cake Factory sore itu tidak terlalu ramai. Edgar dan Luna duduk di ruangan indoor karena Edgar berpikir mungkin gadis seperti Luna lebih nyaman di tempat yang tenang. Luna memandangi setiap sudut ruangan dan memperhatikan waiter-waiter yang lalu lalang. Dan mataya menangkap objek bagus, yaitu anak kecil berambut hitam panjang yang duduk di pojok ruangan sambil melahap cake dihadapannya. Ingin sekali Luna melukis gadis kecil itu, tapi ia sadar bahwa ada pria aneh bersamanya, Luna lupa kalau dirinya tidak seorang diri di sini. Ia ingin cepat pulang.
               “Kok diam aja?Gak suka tempatnya?” Edgar membuka percakapan.
Luna menggeleng, matanya mengelilingi ruangan di bangunan yang mengambil konsep resto and bakery itu.
               “Terus kenapa diam saja?” Tanya Edgar lagi.
Namun tidak ada jawaban apapun dari Luna. Baru kali ini Edgar merasa canggung dengan seorang gadis. Otaknya terus mencari-cari obrolan apa yang kira-kira dapat membuka sedikit hal tentang gadis didepannya yang terlalu sulit untuk dibuka. Edgar tidak mau membuat pick up line yang membuatnya terlihat bodoh. Matanya tertuju pada sketch book di meja yang dibawa Luna sedari tadi.
               “Oh iya, kamu fakultas desain ya?” Mungkin dengan topik ini Luna bisa sedikit atau setidaknya bicara. Pikir Edgar.
               “Kamu tahu dari mana?”
               “Kan aku yang tanya kamu, masa kamu tanya balik.”
               “Hmm.. Iya, aku fakultas desain. Desain Komunikasi Visual lebih tepatnya.” Jawab Luna sambil menyuap choco delight ke mulutnya.
Berhasil! Ternyata topik yang dipilih Edgar setidaknya mendapat respon dari Luna. Kau memang pintar menaklukkan hati wanita, Ed. Pujinya dalam hati. “Wah keren, pasti bisa gambar atau apapun yang bersangkutan dengan seni?”
               “Sok tahu.” Jawab Luna ketus.
               “Aku sok tahu? Oke, mari kita buktikan dengan melihat karyamu di sketch book itu.” Mata Edgar melirik sketch book didepan Luna seolah berkata ayo buka bukunya.

               “Jangan, gambarku jelek-jelek. Tidak seperti gambar orang lain.” Luna sedikit menarik sketch book dihadapannya agar tidak diraih Edgar.
               “Enggak apa-apa, semua karya yang dibuat dengan hati pasti nampak istimewa.” Ucap Edgar sambil tersenyum. “Sini...”
Pertama kalinya Luna menyadari bahwa lelaki didepannya memiliki senyum yang manis dan mampu menghipnotisnya untuk beberapa detik. Dengan ragu-ragu ia memberikan sketch book miliknya hingga sekarang buku tebal itu berpindah tangan
               “Wah! Bagus banget!!”
Luna melotot melihat Edgar yang langsung memuji padahal belum sama sekali membuka sketch book miliknya. Edgar hanya cengengesan. Entahlah, Luna selalu merasa kurang percaya diri bila karya nya dilihat orang lain. Ia takut untuk mendengar reaksi Edgar setelah melihat gambar-gambar di sketch booknya.
               “Lun, ini kamu yang buat?”
Pertanyaan Edgar barusan sebenarnya agak menyontak Luna hingga ia refleks menatap kearah Edgar. “Iya, kenapa? Kurang bagus ya?”
               “Serius? Aku pikir ini buatan pelukis profesional. Tiap garis yang kamu buat sangat rapih. Selain itu di gambar ini, kamu nggak takut buat menggambar langsung dengan pulpen, harunya pakai pensil dulu biar bisa dihapus. Luar biasa.” Edgar memandangi buku sketsa Luna dengan serius. .Saat itu gambar yang dilihat Edgar adalah gambar pohon tua yang terletak di halaman kampusnya. Menurutnya, meski simple namun gambar ini terlihat hidup sampai-sampai ia bisa merasakan sejuknya suasana didalam gambar tersebut
Jujur saja, pujian Edgar barusan membuat Luna senang bukan main. Selama ini, ia hanya memendam sendiri gambar dan lukisan nya. Hanya sang Mama yang setia memuji tiap karya yang dibuat Luna. Tapi kali ini, ada seseorang yang memuji karyanya. Dan orang itu adalah Edgar.
               “Makasih ya, tapi jangan berlebihan begitu.”
               “Aku nggak melebih-lebihkan,Lun. Aku memang nggak mahir dalam hal seperti ini, tapi otakku masih cukup cerdas untuk membedakan mana karya yang layak dipuji dan mana yang tidak layak dipuji. Dan mahakarya didepanku ini adalah salah satu contoh karya yang layak dapat apresiasi” Edgar tersenyum lebar.
Luna tersenyum. Kali ini ia benar-benar senang mendapat pujian dari seseorang.  Luna melihat wajah ketulusan dan bukan paksaan untuk memuji dari wajah lelaki didepannya. Ekspresi Edgar selalu berbeda ketika halaman demi halaman dibuka. Bila yang dilihatnya gambar-gambar hewan atau pemandangan, ia tersenyum. Bila yang dibuka berupa nirmana 3D, wajahnya nampak kebingungan dan sering kali memutar buku sketsa tersebut untuk mengetahui dari sisi mana seharusnya ia memperhatikan. Dan saat membuka gambar dosen yang kubuat karikatur ia tertawa dan berkata “Kamu jahil juga ternyata”. Tanpa sadar Luna memperhatikan ekspresi tiap ekspresi yang ditimbulkan Edgar, seolah menunggu kira-kira seperti apa ekspresi selanjutnya. Kamudian terlintas di benak Luna untuk menunjukkan pada Edgar hasil lukisan di istana nya. Luna dapat mengekspektasikan bahwa ekspresi Edgar akan jauh lebih berbeda.
               Namun, ia belum siap untuk membuka dirinya pada siapapun. Dan jangan gampang terpukau hanya dengan pujian-pujian yang dilontarkan Edgar. Ia harus hati-hati dengan lelaki. Karna yang ia tahu, lelaki hanya bisa menyakiti. Hanya itu. Tidak lebih.
                                                                           000

Selasa, 16 September 2014

LOVE STORY (#2 Siapa Dia?)

Siapa dia?
................................................................................................................................................................
            Edgar masih terheran-heran dengan wanita yang baru saja ditemuinya. Siapa dia? Baru kali ini ia melihatnya dikampus. Mungkin dari kampus lain yang berkunjung. Namun, langkahnya terhenti ketika ia merasa menginjak sesuatu. Ah,  cat acrylic berwarna merah. Edgar megambil cat acrylic merah yang isinya sudah hampir habis itu dan memperhatikannya. Luna. Luna? Jadi nama gadis itu Luna? Mungkin Luna mahasiswi desain? Edgar mengira-ngira, dan perkiraannya mendekati sempurna karena draft tube yang kebanyakan dibawa oleh mahasiswa/i fakultas desain ditenteng gadis itu, lebih mungkin hipotesisnya benar. Kemudian ia tersenyum sambil memperhatikan cat air merah ditangannya. Kesempatan bagus untuk bertemu gadis itu kedua kalinya, Edgar membatin.

                                                            000

            Tiba di kelas, Luna masih saja memegangi bahu kanannya yang masih terasa nyeri. Mungkin diurut Mama adalah hal yang paling Luna inginkan sekarang. Dasar lelaki sialan, ucapnya dalam hati sambil mengeluarkan sketch book yang selalu wajib dibawa. Buku berukuran A3 ini sudah hampir penuh lagi karena terlalu banyak gambar-gambar yang kebanyakan bukan gambar tugas, tapi gambar-gambar hasil keinsengannya kalau sedang bosan. Luna membolak-balik kertas sketch booknya sambil mencari-cari kertas yang kosong, satu persatu gambar ia perhatikan, ada sketsa nirmana 3D yang sukses membuatnya mendapat IP cukup tinggi dan ternyata demi membuat sketsa nirmana itu ia meghabiskan cukup banyak halaman kertas, borosnya. Kemudian ia tersenyum mendapatkan apa yang tergambar di buku sketsa di halaman selanjutnya, gambar dosen yang dibuat karikatur olehnya dua minggu lalu. Mungkin ukuran kepalanya yang terlalu besar, atau perut buncitnya yang terlalu menggembung? Entahlah, gambar itu cukup menggelitik. Setidaknya rasa nyeri di bahunya agak terlupakan sampai nanti Mama memijit bahu kanannya dirumah.

                                                            000

            “Pelan-pelan,Maaa.”
            “Iya ini pelan kok, kamu kalo dipijit diem kenapa.” Mama mulai ngedumel karena aku yang tidak mau diam kalau sedang dipijit. “Kamu kenapa pakai acara kena bola basket segala sih?”
Kalau ingat kejadian tadi siang, Luna agak kesal. Tapi ekspresi lelaki itu saat mengucapkan kata maaf berulang-ulang memang lucu. “Harusnya mama tanya sama lelaki yang melempar bola basket kearahku itu.”
            “Oh jadi laki-laki nih? Gimana? Ganteng gak? Ganteng gak? Kamu naksir?” Mama tiba-tiba berubah jadi super kepo.
            “Biasa aja.” Jawabku ogah-ogahan.
Mama mendengus kesal. “Yakin biasa aja? Cowok-cowok yang main basket itu biasanya keren-keren Lun, kamu pernah nonton sinetron di tv kan? Iya kayak gitu.”
            “Terus kalau keren kenapa?”
            “Ah... kamu suka gitu deh. Jadi cowoknya keren nih? Eh eh kenalin ke Mama dong.”
            “Aduh, Mamaaa. Udah deh, pijitin aku dulu.”
            “Huu gitu banget deh.” Mama kelihatan agak kesal. “Nih dipijitin nih!” pijitan Mama berubah menjadi lebih keras dari sebelumnya. “Gimana? Enak?!”
            “A-aduh, Ma-Mamaaa!”
            “Makanya kalau diajak bicara tuh jangan jutek-jutek kenapa. Gimana cowok mau deketin kamu.”
            “Kenapa sih Ma, mesti ngomongin cowok terus? Luna bosen.”
            “Soalnya kamu belum pernah punya pacar,Luna. Mama takut kamu suka sesama jenis.”
Aku mengernyitkan dahi sambil menatap Mama heran. “Yaampun Mama mikirnya jauh banget,gak mungkin Ma. Aku belum bisa buka hati buat para cowok-cowok aja, mereka cuma bisa nyakitin doang.”
            “Nyakitin? Emang kamu udah pernah rasain gimana rasanya disakiti cowok?” Mama memajukan kepalanya, seolah ingin mengetahui lebih dalam dari perkataanku barusan.
            “Udah.”
            “Sama siapa, Lun? Kok kamu gak cerita?” Kini mama mengerutkan dahinya, semakin serius.
            “Papa.”
Suasana menjadi hening. Tangan mama terasa melemas di bahuku. Ia membenarkan posisi duduknya.
            “Ma.. aku..”
            “Luna, kamu langsung istirahat aja ya biar nyerinya hilang. Mama tidur duluan.”
Aku tau mama hanya menghindar perihal topik yang tidak mengenakan ini. Aku merasa sedikit bersalah atas ucapanku yang menyinggung masalah papa. Sudah lima tahun terakhir papa tidak pulang kerumah. Aku yang mengusirnya. Kalau saja tangan Papa tidak terlalu ringan, mau bertanggung jawab dan mulutnya bisa sedikit dijaga, mungkin aku bisa lebih bahagia. Aku mengusirnya, dan sampai saat ini ia tidak pernah kembali, seperti mati ditelan bumi. Tapi lebih baik tidak dalam keluarga utuh, dibanding dalam satu keluarga namun tidak ada kasih sayang sedikitpun. Selama masih ada Papa dirumah, tidak ada satu hari pun kulalui dengan damai layaknya keluarga lain. Suasana rumah selalu gempar dan ribut, tangan Papa yang terlampau ringan untuk memberi pukulan demi pukulan di tubuh Mama membuatku gerah. Lebih baik ia tidak ada dirumah. Buktinya Mama lebih terlihat bahagia sekarang. Entah itu hanya kepura-puraan atau apapun, setidaknya Mama bisa tersenyum. Aku menghela nafas panjang. Seharusnya aku tidak mengungkit-ungkit apapun mengenai Papa didepan Mama.
Aku melangkahkan kaki, menuju pintu berwarna putih dan membukanya perlahan. Benar saja, Mama menangis. Pemandangan ini yang paling aku benci dalam hidupku. Melihat Mama menangis membuat hatiku terasa seperti dihujam pisau beribu-ribu kali
            “Ma, maaf. Maksud Luna bukan mau bikin Mama sedih..” aku meraih tubuh mama yang terduduk di pinggir kasurnya.
            “Mama sedih bukan karena Papamu, Lun. Tapi karena kamu merasa tersakiti karena kelakuan Papamu. Maafkan Mama, Lun.”
            “Mama enggak salah..”
            “Kalau saja Mama tidak salah memilih pria, pasti kita tidak akan begini. Kamu akan merasakan bagaimana bahagianya hidup dengan keluarga lengkap.” Bahu mama mulai bergetar, dan aku merasakannya.
            “Itu semua sudah berlalu, Ma. Sudah masa lalu. Jadi Mama nggak usah menyalahkan diri sendiri.” Aku mengusap-usap punggung Mama.
            “Lun..” Mama memegang dan menatap lekat mataku, hingga mata kita beradu. “Jangan karena sikap Papa yang mungkin membuatmu terluka, Luna jadi benci pada semua lelaki. Tidak semua lelaki seperti Papamu, Nak.”
            “Tapi Luna nggak butuh lelaki manapun. Luna bahagia sama Mama. Luna mau hidup sama Mama terus.”
Mama menggeleng, kemudian tetes air matanya mulai berjatuhan, “Enggak,Lun. Enggak. Mama enggak mungkin bisa sama Luna terus. Suatu saat, kamu harus bahagia, kamu harus kejar kebahagiaanmu sendiri. Pilihlah pria yang benar-benar mencintaimu. Karena suatu saat kamu pasti membutuhkan sosok pria sebagai pendampingmu sampai mati. Sampai suatu saat Mama tidak dapat mendampingimu lagi, Luna...”
            “Ma.. tapi aku..”
Mama menaruh jari telunjuknya tepat di bibirku. “ Ssst...” Ucapnya. Lalu Mama tersenyum.
            “Aku tidur sama Mama malam ini ya.” Lanjutku sambil memeluk wanita perkasa dihadapanku dengan erat. Sangat erat.


LOVE STORY (#1 Introducing)

Luna

            Namaku Luna, tidak seperti gadis biasanya, aku lebih senang mengurung diri di ruangan penuh warna ini. Semacam istanaku. Disinilah aku menghabiskan waktu. Melukis apa saja yang tertangkap dalam mata dan membiarkan tangan dengan kuas bernomor delapan itu seolah menari-nari diatas kertas Winsor Newton tipe Cotman miliknya. Melukis adalah segalanya bagiku. Selalu ada hal yang memaksaku untuk bertatapan dengan kertas putih ini dan pantang untuk meninggalkannya tanpa satu goresan warna hingga tanpa sadar kertas tersebut telah hidup dan bernilai.
            “Luna, kamu nggak berangkat kuliah?”
Suara melengking Mama yang setengan teriak sangat mampu menjangkau istanaku. Kenapa musti teriak,sih! Aku membatin. “Iya Ma, Luna turun.”. Aku menaruh kanvas dan kuas di kaleng-kaleng bekas yang kuhias menjadi kaleng lucu bergambar matahari. Aku menutup pintu kayu itu dan menutuni tangga kayu yang sudah agak reyot hingga bunyi ‘ngik ngik’ terdengar cukup ribut. Istanaku harus segera di renovasi agar lebih nyaman walaupun aku memang selalu merasa nyaman berada disana.
            “Kamu tuh suka lupa waktu deh kalau sudah disana.” Mama mengelap meja di teras rumah sampai ke sudut-sudutnya hingga aku bisa berkaca disana.
            “Keasyikan, Ma.”
            “Tapi inget waktu dong.” Timpal Mama sambil menyemprotkan cairan pembersih kaca. “Kalau kamu suka melukis, kenapa gak buat pameran lukis sih? Lukisanmu terlalu banyak Luna, bisa bisa rumah kita penuh sama lukisanmu.”
            “Belum percaya diri,Ma. Lukisanku gak ada apa-apanya dibanding lukisan orang.”
            “Setelah 21 tahun melukis dan kamu bilang belum percaya diri? Terus tunggu berapa tahun lagi? Atau berapa abad lagi, Lun? Keburu mati kamu.”
            “Mama!”
            “Habisnya kamu susah dibilangin.
Aku mendengus kesal. “Ya sudah, aku mau berangkat dulu.”
            “Sendirian?”
Mataku beradu dengan mama sambil menaikkan satu alisku seolah berkata ‘memang biasanya sama siapa?’
            “Punya pacar dong, masa anak mama yang cantik ini gak pernah dijemput pacarnya. Eh, minimal jalan sama cowok deh.” Mama mulai menggurau. Aku makin dongkol.
            “Dadah Mama, Luna berangkat ya!” Aku menarik tangan Mama yang sedang memegang kain lap untuk salim dan mengambil beberapa tas yang membuatku agak repot. 
            “Waduh, pelan-pelan dong. Oh iya salam sama pacarmu ya!!”

                                                            000

Edgar
            Aku berkaca sekali lagi. Ternyata memang tampan. Ya, kau sangat tampan. Siapa wanita yang tak tergila-gila denganmu, Ed? Puji syukurku pada Tuhan telah memberiku wajah setara Brad Pitt. Kataku dalam hati.
Memperkenalkan, kapten basket di kampus yang selalu jadi pusat perhatian wanita di lapangan, namaku Edgar, bernomor punggung 09, tinggi 184, dan ganteng. Harus kuakui, penulis yang sedang menulisku saat ini mungkin sudah mulai jatuh hati padaku. Menjadi tampan memang susah susah gampang. Kau harus mau berfoto dengan wanita-wanita genit yang kalau berteriak, gendang telingamu mungkin mengalami sedikit kerusakan. Kesusahan lainnya adalah, kau susah untuk memacari beberapa wanita cantik di kampus tanpa ketahuan.
            “Pagi, Edgar..” senyum Prita, wanita seksi dari Fakultas Hukum yang menjadi mantan pacarku ke-18. Melihat Prita menggunakan rok seperti itu membuat dribelan bola basketku tidak beraturan. Ah.. Prita.
            Aku sendiri memilih jurusan Jurnalistik. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang harusnya sedang berpesta merayakan kelulusan, aku masih tertinggal. Kalau aku bilang basket adalah penghambat kelulusanku, sebenarnya tidak juga. Basket telah membawaku meraih beasiswa karena prestasi di bidang olahraga ini sudah kuraih tingkat nasional. Ah, biar sajalah, ada yang bilang padaku lulus jangan tepat waktu tapi luluslah di waktu yang tepat. Dan mungkin tahun ini belum waktunya aku lulus. Dengan santai, terus ku dribel bola basket di tanganku.
Bzzz~ Bzzz~ Getaran yang bersumber dari handphone membuatku agak kaget, lalu kulemparkan bola basket itu kearah ring dan melihat siapa yang menelepon. Ternyata, Nadia. Pacarku ke 23 dan baru berpacaran selama dua bulan namun cerewetnya bukan main. Selalu minta dikabari dan cengeng. Repot!
“Iya sayang, aku lagi...”
“Kenapa gak pernah angkat telepon sih? Katanya mau telfon habis jam makan siang! Sekarang sudah jam dua lewat lima menit dan kamu masih belum nelfon. Aku nungguin tau! Kamu pikir enak apa nunggu kabar dari kamu? Kenapa sih gak pernah inisiatif buat kasih kabar? Kamu kan....” belum sempat satu kalimat kuselesaikan, suara diujung telepon sana langsung meleber.
“Sa..sayang..tapi..”
“Kamu mau cari alasan kan? Iya kan? Aku tau kamu pasti punya simpanan kan? Jujur sama aku, jangan kamu kira aku gak tau ya kalo kamu..”
Aku hanya bisa pasrah mendengar omelan demi omelan wanita rewel diujung telepon sana. Sudah kebal rasanya dimarahi seperti ini, semua wanita memang rewel, selalu minta dikabari, padahal tadi pagi sudah ketemu. Heran.
            “ADUH!”
Aku terhentak mendengar suara setengah teriak yang sepertinya wanita disekitarnya. “Sayang nanti aku telfon ya, dadah, love you!” Dengan segera kututup telfon dari si wanita rewel itu dan mencoba mencari sumber suara ‘aduh’ tersebut. Dan benar saja, suara itu berasal dari wanita disamping ring. Kupikir bola basket yang kulempar sudah mencetak three point cantik, ternyata meleset.
            “Maaf, maaf ya maaf.” Ucapku dengan setengah berlari mendekat kearah wanita yang menenteng tas cukup banyak.
            “Andai saja ucapan maafmu bisa menghilangkan rasa nyeri di bahuku.” Jawab wanita itu ketus sambil memegangi bahu di bagian kirinya.
            “Semoga saja bisa. Maaf maaf maaf maaf maaf maaf maaf maaf ma...”
Wanita itu mengambil bola basket di samping kakinya dan menubrukkan ke bahuku dengan kencang hingga aku mundur selangkah.
            “Gantian!!” ucapnya ketus sambil berlalu.

Siapa dia?

                                                                        000

            

Senin, 08 September 2014

Aku Berhenti Menjangkau

Barangkali kita ditakdirkan hanya untuk berpapasan, tidak untuk berpasangan.
Kau tau? Adalah rasa yang palsu, ketika cinta ada, tapi keduanya enggan mengaku.
Lalu, demi melepaskan yang sudah tidak mungkin dipertahankan, tega(s) adalah pilihan.