"Benar, perkenalan ialah hal yang baru. Namun satu hal yang perlu kau tahu, menyayangimu tak perlu banyak waktu."
Well, kenapa waktu terbaik nulis itu saat malam hari? Karena malam adalah gudang imajinasi. Seolah semua imajinasi muncul mengeroyok otak dan menghipnotis jari-jari berkuteks hijau muda ini untuk membuat satu kalimat bahkan berpuluh-puluh paragraf, dan aksara demi aksara yang kemudian muncul tak jarang mengenai kamu. Iya, kamu.
Kamu yang membuatku rindu-rindu gemas. Kamu sangat menggemaskan, seperti bayi yang masih polos. Bedannya, kamu terlalu keren untuk ukuran bayi.
Sudah lama kita tak berkabar. Kamu tau? Aku merindu. Rinduku bukan tamu yang sekedar datang dan berlalu. Rinduku ialah penghuni, yang datang dan sukar untuk pergi lagi. Waktu mencurimu, sewaktu aku mencarimu. Maka aku pun berani merindukanmu, tanpa harus mengerti tanda dan tanya, sebab hati lebih tau apa yang ia rasa.
Rindu ini kian gaduh. Namun, hati menolak sembuh, sebelum ada temu yang sungguh. Aku selalu menanti saat dimana semesta mempertemukan kita kelak. Ntahlah kapan. Mungkin Dia yang tau kapan kita bisa bertemu dan sedikit berbincang.
Tapi aku harus membiasakan diri hidup dalam realita, yang tidak hanya sibuk mendambamu sedang kau sedetikpun tak berpikir tentang hal ini dalam-dalam. Aku ingin melepasmu dengan sempurna, agar luka tak berumah, dan kesedihan tak menjelma air mata karena setidaknya aku sering bermimpi bertemu denganmu untuk melepas rindu, dan kau tau? Itu saja sudah menyenangkan bagi gadis ingusan sepertiku.
Aku yang terlalu payah untuk tidak memberanikan diri mendobrak gengsi. Padahal, cinta adalah pengorbanan. Seperti langit, yang harus menangis dahulu demi melihat kekasihnya, pelangi.
Tapi aku hanya bisa menunggu; yang bersedih, namun pura-pura nyaman. Terlalu takut untuk memulai. Menunggu dan menunggu.
Menunggumu mungkin sudah jadi bagian dari pekerjaanku. Jika kamu ingin memberiku gaji, maka gajilah aku dengan kepastian darimu. Secepatnya..
Bahkan aku masih terjaga dengan bodohnya hanya untuk menyelesaikan tulisan yang bahkan kau saja tidak pernah melirik. Tidak pernah..
Mungkin ini pertanda bahwa rindu ini berserakan tak beraturan, aku merangkainya dengan sabar, ternyata namamu yang dibentuknya. Aku bisa apa?
Aku terlalu lelah untuk terus memujamu tiap malam.
Berdoalah, untuk kebahagiaanmu. Lalu mengaminkannya, adalah kebahagiaanku.
Aku mencoba untuk mengambil sisi positif dari rasa ini. Mungkin Tuhan tidak langsung mengabulkan permintaan kita, karena Tuhan ingin menikmati semua rayuan dalam doaku yang tak henti menyebut namamu.
1015-19151813914